Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Filologi Kolonial: Warisan B. F. Matthes di Tanah Ogi

9 September 2025   22:40 Diperbarui: 9 September 2025   20:58 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filologi Kolonial (Sumber: Koleksi Pribadi)

Dalam sejarah kolonialisme Belanda di Sulawesi Selatan, nama Benjamin Frederik Matthes (1818--1908) menempati posisi yang sangat penting. Ia dikenang sebagai filolog besar, pelopor studi Bugis dan Makassar, serta penyunting karya monumental Boegineesche Chrestomathie(1859). Namun di balik reputasi ilmiah itu, Matthes adalah seorang misionaris kolonial yang mengabdikan hidupnya pada penyebaran agama Kristen sekaligus penyusunan pengetahuan strategis bagi kepentingan kekuasaan Belanda. Ia tidak hanya mencatat kebudayaan Bugis, melainkan juga mengonstruksi cara kebudayaan itu dipahami, sehingga membentuk kerangka epistemologis yang bertahan hingga kini.

Michel Foucault dalam Power/Knowledge (1980) menegaskan bahwa pengetahuan tidak pernah berdiri netral; ia selalu berjalin erat dengan kuasa. Kolonialisme modern membuktikan hal itu: dominasi tidak hanya dilakukan dengan senjata dan birokrasi, tetapi juga dengan pengetahuan yang mendefinisikan masyarakat jajahan. Dalam kerangka ini, Matthes adalah representasi tipikal. Ia hadir sebagai misionaris, tetapi sekaligus sebagai produsen wacana. Tulisannya tidak hanya merekam "realitas" Bugis, melainkan juga mendisiplinkannya ke dalam kategori yang dapat dimanfaatkan kolonialisme. Apa yang diakui sebagai "ilmu tentang Bugis" dalam horizon akademik Barat sebagian besar adalah hasil konstruksi Matthes.

Matthes tiba di Hindia Belanda pada 1847 sebagai utusan Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG). Secara formal, misinya adalah penyebaran agama Kristen. Namun, kegiatan itu sejak awal dikaitkan dengan agenda yang lebih luas: pengumpulan data linguistik, etnografis, dan historis untuk menunjang administrasi kolonial. Dengan demikian, Matthes adalah perpanjangan tangan ganda: seorang rohaniawan yang menyebarkan Injil, sekaligus seorang intelektual yang menyediakan peta pengetahuan bagi kekuasaan Belanda. Dalam kerangka Edward Said, seperti ia tulis dalam Orientalism (1978), Matthes hadir sebagai orientalis yang menuliskan Timur bukan untuk membiarkannya berbicara, melainkan untuk menjadikannya objek representasi.

Bahasa menempati posisi sentral dalam proyek Matthes. Ia menyusun Boegineesch-Hollandsch Woordenboek (1874--1875), menulis tata bahasa Bugis, dan mengoleksi naskah lontaraq. Dari perspektif kolonial, bahasa bukan hanya sarana komunikasi, melainkan juga instrumen kontrol. Dengan memahami bahasa lokal, penguasa kolonial lebih mudah menanamkan pengaruh, menyusun hukum, dan membentuk hierarki sosial. Bahasa juga membuka jalan bagi seleksi elit: siapa yang dianggap layak, siapa yang dikesampingkan.

Melalui deskripsi Matthes, gelar Andi memperoleh pengakuan formal sebagai lambang kebangsawanan. Dalam Woordenboek, Matthes mendefinisikan Andi sebagai "titel eener aanzienlijke familie" (gelar dari sebuah keluarga terkemuka). Definisi singkat ini memberi dampak besar: ia mengabadikan Andi sebagai simbol feodal dalam kamus otoritatif yang dipakai kolonial Belanda. Dengan sekali tulis, Matthes menempatkan sebuah gelar sosial ke dalam kategori ilmu, sehingga tidak lagi tampak sebagai konstruksi politik, melainkan sebagai fakta bahasa.

Karya Matthes yang paling berpengaruh adalah Boegineesche Chrestomathie (1859), sebuah antologi teks Bugis dalam aksara lontaraq yang ia sunting dan terjemahkan. Buku ini dianggap sebagai tonggak awal filologi Bugis di Eropa. Namun, pemilihan teks tidak pernah netral. Matthes menyeleksi teks yang menekankan hierarki genealogis, mitos bangsawan, dan legitimasi gelar. Misalnya, bagian dari Sureq I La Galigo disajikan bukan hanya sebagai sastra, tetapi sebagai bukti betapa masyarakat Bugis ditentukan oleh garis keturunan. Seleksi ini menciptakan narasi bahwa Bugis adalah masyarakat feodal yang "alamiah." Padahal, citra itu sebagian besar lahir dari intervensi kolonial. Kolonialisme dengan demikian tampak seperti kelanjutan dari struktur yang sudah ada, padahal struktur itu sendiri telah dibingkai ulang melalui kerja penyuntingan Matthes.

Salah satu kontribusi Matthes yang paling menentukan adalah penekanan pada gelar Andi. Dalam tulisannya, Andi ditampilkan sebagai penanda kebangsawanan yang mapan dan melekat pada identitas Bugis. Padahal, catatan kolonial memperlihatkan bahwa gelar ini berfungsi sebagai alat politik: ia memberi posisi istimewa kepada sekelompok kecil elit yang dijadikan perantara kolonial. Dengan cara ini, pengetahuan Matthes tidak hanya merekam, tetapi juga melegitimasi. Gelar Andi tidak hanya berfungsi dalam ranah sosial internal, melainkan juga dalam administrasi kolonial.

Selain gelar, warisan Matthes juga melekat pada penamaan etnis. Istilah "Bugis" dipopulerkan melalui karya-karya filologisnya, sehingga menjadi label etnis yang berlaku luas hingga kini. Namun, dalam percakapan sehari-hari, masyarakat yang disebut "Bugis" sebenarnya tidak mengenal istilah itu. Mereka menyebut diri sebagai Ogi', endonym yang menegaskan identitas asli. Dengan demikian, penyebutan "Bugis" adalah konstruksi kolonial yang kemudian diterima sebagai kenyataan sosial. Sama seperti Andi, istilah ini menunjukkan bagaimana kolonialisme bekerja bukan hanya di ranah politik, melainkan juga pada level bahasa dan identitas.

Dalam perspektif teori postkolonial, karya Matthes mencerminkan apa yang disebut Boaventura de Sousa Santos dalam Epistemologies of the South (2014) sebagai epistemicide: pemusnahan pengetahuan lokal melalui penggantian dengan pengetahuan kolonial. Matthes seolah melestarikan budaya Bugis, tetapi ia mereduksi kompleksitas lokal menjadi kategori yang sesuai dengan kepentingan kolonial. Edward Said dalam Orientalism (1978) menegaskan bahwa Timur tidak pernah berbicara untuk dirinya sendiri; ia selalu diwakili oleh Barat. Matthes menjalankan fungsi ini terhadap Bugis. Gayatri Spivak dalam Can the Subaltern Speak? (1988) menambahkan bahwa suara subaltern jarang terdengar karena selalu digantikan oleh representasi elit. Dalam hal ini, Matthes menulis tentang bangsawan dan gelar, tetapi nyaris menyingkirkan petani, nelayan, dan pedagang yang justru membentuk inti masyarakat Bugis.

Warisan Matthes bertahan hingga hari ini. Penelitian-penelitian modern tentang Bugis masih sering menggunakan kerangka yang ia bentuk. Gelar Andi tetap dipandang sebagai simbol kebangsawanan; istilah "Bugis" tetap menggeser penyebutan Ogi'. Semua ini memperlihatkan bahwa kolonialisme tidak hanya meninggalkan bangunan dan arsip, tetapi juga kerangka berpikir yang terus hidup. Matthes adalah arsitek dari warisan epistemologis ini, dan karena itu sosoknya tidak bisa hanya dikenang sebagai filolog, melainkan juga sebagai agen kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun