Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kiai dan Mitologi Ular Raksasa dari Tanah Bugis

1 September 2025   14:34 Diperbarui: 1 September 2025   14:37 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tamposisi' (Sumber: Koleksi pribadi) 

Lidah Bugis itu licin --- bukan licin karena terlalu sering menjilat es krim, tetapi licin seperti ular yang baru ditangkap dari sawah. Kadang bunyinya mendesis, kadang mendayu, dan sesekali terdengar seolah sedang berbicara dalam bahasa Prancis yang tergelincir di lumpur sawah. Jika lidah orang Jawa kerap terdengar medhokBritish, seperti bule Inggris yang terlalu lama tinggal di kampung, maka orang Bugis --- sadar atau tidak --- sejak lama sudah mempraktikkan lingua franca versi tropis. Setiap suku kata mengalir mulus, konsonan nyaris menguap, dan intonasi menari di antara keseriusan dan godaan.

Di Sidrap atau Parepare, orang Bugis bisa menyebut kata Olympique Lyon, Napoleon, atau tlphone dengan keanggunan yang nyaris identik dengan lidah Paris, Marseille, bahkan Quebec. Dan yang paling menawan: kata "makan" dan "makam" dalam pelafalan Bugis akan terdengar sama --- mkang. Coba ucapkan perlahan; rasanya seperti sedang menyeruput espresso di kafe kecil Saint-Germain, meski kenyataannya hanya duduk di bale-bale bambu sambil menatap sawah.

Namun, di balik keanggunan itu, lidah Bugis punya keluwesan yang berbeda. Jika orang Jawa membungkus kata dengan keheningan yang penuh takzim, orang Bugis membiarkan bunyi mengalir bebas, seperti air di saluran sawah yang tak pernah benar-benar diam. Ritmenya ringan, cair, dan selalu siap menyesuaikan diri dengan bahasa mana pun yang lewat di hadapannya. Mungkin sebab itu, kata-kata asing terasa betah di lidah Bugis, berbaur tanpa jarak, tanpa ragu, seolah bahasa dunia memang diciptakan untuk diputar ulang dengan aksen tropis yang tak bisa ditiru siapa pun.

Kata kiai, misalnya, di Jawa selalu terdengar manis. Ada rasa hormat yang menempel di setiap suku kata, seolah menyebutnya saja sudah cukup untuk menundukkan kepala. Kiai adalah penanda kebijaksanaan, penggembala akal, sekaligus penopang moral desa. Di ruang publik, ia adalah suara yang ditunggu; di ruang privat, ia menjadi bisikan yang tidak pernah dibantah. Kiai, dengan seluruh lapisan maknanya, adalah sosok yang diikat oleh keheningan yang khidmat.

Tetapi pindahkan kata itu ke tanah Bugis, dan tiba-tiba semuanya berbelok arah. Di Pinrang atau Bone, kata kiai tidak lagi terdengar sakral. Ia hanya berarti "galilah!"--- aktivitas sehari-hari yang sama remeh dan sama melelahkannya dengan legiatan menggali untuk menanam singkong atau menggali kubur.

Yang menarik, di Sidrap uga dikenal istilah kali, yang dalam telinga orang Jawa Timur terdengar seperti versi medhok dari kata "gali", di tanah Bugis berdiri sejajar dengan kiai. Seolah-olah bahasa sedang memainkan lelucon, membuat orang Jawa dan Bugis saling bertukar nama untuk menyebut hal yang sama. Kiai yang berarti menggali di Bugis digunakan sebagai gelar kehormatan untuk ulama di Jawa. Sebaliknya, kali atau gali, yang di Jawa sehari-hari berarti membuat lubang di tanah, justru berkelindan dengan kata ulama di tanah Bugis.

Perpindahan makna ini bukan sekadar permainan bunyi. Ia seperti gema yang datang dari lorong panjang sejarah, meninggalkan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Bagaimana mungkin satu kata yang di satu tempat berarti kesucian, di tempat lain hanya berarti gerakan cangkul? Apakah ini hanya kebetulan fonetis, atau justru jejak samar dari pertemuan lintas budaya yang terlalu lama dilupakan?

Kata ulama pun sama nasibnya. Dalam bahasa Arab, ulama berarti orang berilmu, namun di lidah Bugis yang licin, ia terdengar seperti ūlāma' yang berarti "saya hanya ular". Lucu, sekaligus sedikit menakutkan. Karena dalam mitologi Bugis, ular bukan sekadar hewan. Ia adalah simbol yang menelan, menyimpan, dan menguji.

Di situlah tamposisi muncul. Seekor ular naga raksasa, besar dan panjang, yang konon bisa menelan manusia bulat-bulat. Anehnya, mereka yang tertelan tidak mati. Mereka hidup di dalam perut tamposisi, berjalan, bernapas, bahkan kadang berbincang-bincang dengan sesama yang sudah lebih dulu ada di sana. Dan seperti dalam semua cerita rakyat yang tak pernah kehilangan logika ajaibnya, ada cara keluar yang sederhana: nyalakan korek api. Api kecil itu, di ruang gelap yang sempit, cukup untuk membuat tamposisi memuntahkanmu.

Kisah ini, bila dipikir-pikir, terlalu pas untuk dianggap kebetulan. Di Jawa, kiai menggali kesadaran, mengeluarkan manusia dari kebodohan. Di Bugis, kiai menggali lubang, membuka ruang kosong di tanah. Dalam bahasa, keduanya sama-sama menandai aktivitas menggali --- entah menggali ilmu, menggali makna, atau menggali lubang di perut ular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun