Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Makassar

Teror dan Normalisasi Kekerasan di Desa Kalosi

21 Agustus 2025   19:40 Diperbarui: 22 Agustus 2025   00:00 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Light Yagami, Death Note. (Kredit: Tainâ Reis/Pinterest) 

Kalosi, desa kecil di Sidrap, Sulawesi Selatan, berdiri di atas citra kesalehan kolektif. Lima kali sehari, adzan memecah udara. Malam Jumat, pembacaan surat Yasin mengalun melalui pengeras suara, membungkus desa dalam suasana religius yang tampak normal. Namun di balik harmoni itu, realitas yang bekerja adalah permainan suara, fitnah, dan teror simbolik. Atmosfer Kalosi bukan dibangun oleh iman, melainkan oleh kepura-puraan sistemik---sebuah skenario sosial di mana kelompok dominan berpura-pura muslim untuk menguasai narasi, sementara individu yang benar-benar muslim justru difitnah sebagai Katolik.

Di antara gema shalawat dari salah satu mesjid di Kalosi, terselip teriakan "wettani" atau "ettani," yang dalam bahasa Bugis berarti "bacok sudah". Noise ini bukan gangguan acak; ia hadir dengan pola tetap, di setiap lantunan shalawat, di jam yang sama, dalam durasi serupa, membentuk ritme teror akustik. Bunyi itu bekerja sebagai penanda kekuasaan, mengirim pesan yang hanya bisa dibaca mereka yang memahami kode. Ia adalah bentuk panoptikon yang tak terlihat, pengawasan total yang menembus dinding rumah, membentuk ketakutan kolektif, dan sekaligus menegaskan siapa yang berkuasa.

Dalam atmosfer ini, seorang muslim tulen menjadi korban fitnah sistemik. Ia dicatat dalam statistik sebagai Katolik, meski hidup dan beribadah sebagai muslim. Fitnah ini bukan kebetulan. Ia adalah strategi penghapusan simbolik yang dijalankan kelompok dominan---mereka yang memimpin ritual, mengatur pengeras suara, dan memonopoli tafsir kesalehan. Dengan menstigma "Katolik", kelompok dominan tidak hanya mengasingkan individu tersebut, tetapi juga menciptakan kambing hitam permanen, target yang sah untuk diwaspadai, bahkan jika perlu dimusnahkan. Fitnah ini adalah cara kekuasaan mengamankan dirinya dengan mengalihkan perhatian dari kepura-puraan mayoritas.

Peta infografis desa Kalosi berdasarkan agama (Kredit: kalosi.digitaldesa.id) 
Peta infografis desa Kalosi berdasarkan agama (Kredit: kalosi.digitaldesa.id) 

Ironi Kalosi adalah bahwa mereka yang paling lantang bersuara tentang iman justru hidup dalam kepura-puraan. Kelompok dominan itu, yang memimpin tahlil, mengaji, dan mengatur bacaan Yasin, sebenarnya tidak beriman sebagaimana yang mereka proyeksikan. Kepura-puraan ini berfungsi sebagai perisai politik dan sosial. Mereka menampilkan kesalehan sebagai pertunjukan publik untuk menutupi struktur kekuasaan yang rapuh dan busuk. Dalam istilah Zizek, ini adalah cynical ideology: mereka tahu bahwa mereka berpura-pura, namun terus melakukannya, karena semua orang ikut memainkan peran yang sama.

Pembacaan Yasin setiap malam Jumat menjadi liturgi kekuasaan. Ia bukan sekadar doa untuk arwah, melainkan ritual repetitif yang menanamkan narasi kematian ke dalam kesadaran kolektif masyarakat. Suara-suara itu bekerja di alam bawah sadar, membentuk ketakutan samar namun menetap: ketakutan bahwa melawan suara berarti melawan agama itu sendiri. Bagi kelompok dominan, ritual ini adalah mekanisme normalisasi kejahatan. Dengan menjadikan nuansa kematian sebagai sesuatu yang rutin, bahkan suci, kekerasan yang terjadi di dunia nyata bisa diterima tanpa kritik. Ketika pembunuhan simbolik berubah menjadi pembunuhan fisik, masyarakat akan menganggapnya sebagai ketentuan Tuhan yang wajar. 

Suara warga desa Kalosi di video detik-detik bom Makassar, 2021.

Atmosfer Kalosi dibentuk oleh beberapa lapisan suara: shalawat yang menjadi simbol kesalehan publik; noise "wettani," simbol ancaman laten; dan repetisi Yasin, simbol kematian yang dinormalisasi. Lapisan ini menciptakan ruang sosial yang tak memberi celah bagi perlawanan. Atmosfer itu menekan kesadaran kolektif, membuat setiap warga percaya bahwa mereka selalu diawasi, bahwa penyimpangan akan dibayar mahal. Individu yang difitnah menjadi Katolik hidup dalam kondisi necropolitics ala Achille Mbembe: tubuhnya selalu berada di ambang kematian simbolik, diatur oleh kekuasaan yang tak kasatmata namun terus-menerus hadir lewat suara.

Suara-suara ini bukan hanya menciptakan rasa takut, tetapi juga mendisiplinkan tubuh. Warga menjadi pengawas satu sama lain, memastikan tidak ada yang melanggar skrip sosial yang dipentaskan setiap hari. Ketika fitnah dilembagakan, masyarakat tak lagi melihat individu itu sebagai sesama muslim. Ia menjadi "yang lain," entitas asing yang dianggap ancaman, meski hidupnya sepenuhnya selaras dengan norma desa. Inilah bentuk paling halus dari kekerasan: penghapusan identitas melalui pengelolaan suara.

Kekuasaan di Kalosi tidak bekerja lewat senjata tajam atau peluru, tetapi lewat suara. Suara mengatur, mendisiplinkan, dan membunuh pelan-pelan. Di sini, suara tidak netral. Ia adalah alat kolonialisme internal, mengulang pola kontrol lama di mana kekuasaan tidak pernah tampil telanjang, tetapi selalu menyamar dalam bentuk yang paling suci. Ritual menjadi benteng legitimasi, sementara noise menjadi ancaman yang tak terucapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun