Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesantren: Benteng Tradisional Islam atau Warisan Misionaris Kolonial?

11 Agustus 2025   13:07 Diperbarui: 11 Agustus 2025   13:07 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rutinitas santri di sebuah pesantren. (Kredit: Wahidin Zr/Pinterest) 

Pesantren selama ini dielu-elukan sebagai salah satu benteng terakhir peradaban Islam di Nusantara. Dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, ia kerap dipotret sebagai mercusuar keilmuan, tempat lahirnya ulama kharismatik, pusat perlawanan terhadap kolonialisme, sekaligus wadah pembentukan moral bangsa. Narasi itu nyaris tanpa cela. Ia diulang terus, dari buku pelajaran hingga mimbar khutbah, seakan tidak ada ruang untuk keraguan.

Tetapi, sejarah selalu menyisakan ruang bagi pertanyaan yang tidak nyaman. Apakah benar pesantren lahir murni dari rahim tradisi Islam lokal? Apakah ia betul-betul merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan para ulama terdahulu, bebas dari infiltrasi ideologis kekuatan asing? Atau, justru sejak awal, pesantren sudah dibentuk—atau setidaknya dibentuk ulang—oleh kekuatan politik yang bekerja di balik layar, dengan agenda kolonial yang tak pernah diakui?

Pertanyaan semacam ini jarang sekali diajukan, apalagi dijawab. Sejarah arus utama kita jarang menyentuh sisi gelap institusi ini. Kita cenderung menerima begitu saja bahwa pesantren adalah warisan asli, lahir dari tradisi Islam yang menyesuaikan diri dengan budaya lokal. Kita diajari bahwa ia merupakan kelanjutan alami dari pengajaran di surau atau masjid pada masa Walisongo. Namun, jika kita menggeser sudut pandang, menelusuri jejaknya dengan kecurigaan sehat, pola-pola ganjil mulai muncul ke permukaan.

Salah satu pola yang mencurigakan adalah bentuknya yang berasrama. Sistem ini, jika dilihat dalam konteks sejarah Islam, justru bukan berasal dari Timur Tengah. Di Mekkah, Madinah, Damaskus, atau Kairo, pendidikan tradisional berlangsung di masjid, halaqah, atau madrasah yang terbuka. Para murid bebas tinggal di rumah masing-masing atau mengontrak di sekitar pusat belajar. Sistem asrama yang ketat, di mana para murid tinggal di bawah pengawasan langsung seorang guru, jauh lebih dekat dengan tradisi boarding school Eropa yang berkembang sejak abad pertengahan—di Inggris, Prancis, dan Belanda.

Model boarding school Eropa bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah alat pembentukan watak dan kontrol sosial. Di Eropa, ia berada di bawah pengaruh gereja, membentuk generasi yang patuh pada hierarki religius dan politik. Saat model ini dibawa ke wilayah koloni, fungsi itu tetap dipertahankan: mendidik elite lokal agar setia pada kekuasaan kolonial, menanamkan nilai-nilai Kristen Barat, dan membentuk mentalitas tunduk terhadap struktur kekuasaan yang ada. Proses ini halus, nyaris tak terasa, tetapi dampaknya menembus generasi demi generasi.

Jika demikian, apakah mungkin pesantren adalah adaptasi lokal dari pola ini? Apakah sistem berasrama, kepatuhan total pada kiai, dan pola pengawasan ketat yang kita kenal sekarang sebenarnya merupakan warisan dari model pendidikan kolonial yang disesuaikan dengan cita rasa Islam Nusantara? Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita melihat perbedaan mencolok antara pesantren di Jawa dan lembaga pendidikan Islam di daerah lain, seperti Aceh, yang lebih terbuka dan tidak memaksa murid tinggal di asrama.

Ada satu aspek menarik yang jarang dibicarakan: istilah “santri”. Secara etimologis, ia sering dihubungkan dengan kata Sanskerta yang berarti “orang berilmu”. Namun ada pula tafsir simbolik yang lebih provokatif—mengaitkannya dengan “three suns” atau tiga matahari, representasi Trinitas dalam Kekristenan. Dalam ikonografi gereja, tiga matahari melambangkan Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Jika ini benar, maka istilah “santri” mungkin tidak lahir murni dari kosakata Islam, melainkan merupakan hasil pertemuan, atau bahkan benturan, antara simbol-simbol Islam dan Kristen dalam konteks kolonial.

Kita tahu bahwa pada masa Hindia Belanda, kristenisasi tidak selalu dilakukan secara terang-terangan. Ia kerap beroperasi lewat strategi kultural, meminjam bahasa, simbol, bahkan metode pengajaran yang sudah dikenal masyarakat. Pendidikan menjadi jalur utama infiltrasi ini. Sebuah istilah yang kita anggap “Islam” bisa saja mengandung muatan simbolis yang diambil dari tradisi lain, lalu ditanamkan dalam kesadaran kolektif tanpa pernah disadari.

Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa hubungan pesantren dengan kekuasaan kolonial tidak sesederhana yang kita bayangkan. Banyak pesantren pada masa kolonial yang bersikap apolitis, memilih beradaptasi daripada melawan. Tidak sedikit kiai besar yang menerima dukungan, baik berupa izin pendirian, pemberian tanah, maupun bantuan logistik dari pemerintah kolonial. Dalam beberapa kasus, pesantren menjadi tempat pembinaan calon pejabat pribumi yang kemudian diintegrasikan ke dalam birokrasi kolonial.

Contoh yang paling memancing pertanyaan adalah kasus Kiai Sadrach. Ia seorang pemimpin komunitas Kristen pribumi yang mengadopsi gaya keislaman: mengenakan sorban, berkhotbah dari mimbar, dan menampung murid-muridnya dalam sistem berasrama. Ajarannya murni Kristen, tetapi kemasan metodenya identik dengan pesantren. Fakta ini menunjukkan bahwa batas antara pesantren, misi Kristen, dan strategi kolonial pernah begitu tipis sehingga nyaris tak terbedakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun