Ketika sejarah mencatat ledakan pertama bom atom di padang pasir Alamogordo, New Mexico pada tahun 1945, dunia mengira telah menyentuh batas tertinggi kecanggihan senjata. Ledakan itu bukan hanya memecah langit dan bumi, tapi juga menandai permulaan sebuah era baru: zaman ketika kehancuran bisa direncanakan dengan grafik, dan kematian bisa dijadwalkan seperti penerbangan sipil. Hiroshima dan Nagasaki menjadi cermin dari mimpi buruk sains: kecerdasan manusia digunakan untuk menciptakan senjata yang membuat manusia tak lagi bisa bermimpi.
Sejak saat itu, peradaban tak lagi mengenal jeda. Negara-negara adidaya terus menyempurnakan senjata pemusnah massal: Amerika dengan Minuteman III, Rusia dengan Sarmat, dan China diam-diam menguji perangkat hulu ledak MIRV mereka sambil tersenyum di depan kamera.Â
Di langit Ukraina, drone-drone kecil mengintai seperti lalat elektronik: bersenjatakan kamera dan ledakan mini. Teknologi berpadu dengan kehendak politik, menghasilkan senjata-senjata yang bahkan tak perlu pilot, tak perlu rasa kasihan. AI kini bisa menentukan siapa yang pantas hidup dan siapa yang cukup satu koordinat untuk dimusnahkan. Satu klik, satu ledakan. Satu algoritma, satu kota bisa padam.
Dunia telah lama sepakat bahwa teknologi militer adalah tolak ukur supremasi peradaban. Tak ada yang lebih memikat dalam diplomasi internasional selain ancaman nuklir yang disampaikan dengan suara tenang dan dasi rapih. Sejak manusia menemukan cara untuk membunuh tanpa perlu menyentuh, sains dan kekuasaan menyatu dalam simfoni kehancuran.
Mari jalan-jalan sejenak ke battlefield. Di perbatasan Ukraina, Rusia memamerkan jajaran senjata teranyarnya, dari rudal hipersonik Kinzhal yang melesat lima kali kecepatan suara, hingga sistem pertahanan udara S-400 yang dirancang seolah-olah langit bisa dipagari. Ukraina tak tinggal diam. Didukung NATO, mereka membalas dengan HIMARS buatan Amerika, drone Bayraktar dari Turki, dan perangkat anti-tank Javelin yang bisa membuat tank-tank T-90 merenungkan hidupnya kembali sebelum meledak dalam api.
Perang tak lagi tentang pasukan yang berlari menembus hujan peluru, melainkan tentang siapa yang lebih cepat mendeteksi panas tubuh dari satelit. Siapa yang lebih dahulu melumpuhkan radar musuh dari jarak 1000 km. Perang telah menjadi matematika berdarah, dan satu algoritma bisa menggantikan satu batalyon tentara terlatih.
Bergeser ke selatan, di bawah langit Gaza, Israel mengembangkan teknologi pertahanan udara paling sensasional dalam sejarah manusia: Iron Dome. Sistem ini mampu menembak jatuh roket yang ditembakkan dari Gaza dalam waktu kurang dari tiga detik. Seolah-olah rudal-rudal itu hanyalah nyamuk yang mengganggu tidur siang para rabi. Tapi Hamas juga belajar. Mereka mengembangkan taktik peluncuran simultan dan drone sederhana berbahan dasar bahan bangunan, membuat Iron Dome harus memilih: menembak atau membiarkan.
Yaman, di bawah bayang-bayang konflik yang tak pernah selesai, menyumbang babnya sendiri. Kelompok Houthi mengembangkan rudal-rudal jarak menengah dan drone yang cukup murah tapi efektif, mengganggu kapal-kapal di Laut Merah dan memaksa perusahaan global mengubah rute perdagangan. Iran? Tak mau tertinggal. Ia menjadi patron yang menyediakan blueprint dan semangat. Rudal-rudal Shahab dan drone-drone Shahed 136 buatan Teheran kini menjadi cameo dalam hampir semua konflik Timur Tengah, menandakan bahwa Iran tak perlu mengirim tentara; cukup desain.
Luar biasa. Dunia tampak seperti laboratorium kehancuran yang terus-menerus di-update. Tiap tahun ada "versi baru": rudal lebih cepat, drone lebih kecil, bom lebih presisi. Seperti gawai, hanya saja yang satu ini bertujuan membuat hidup orang lain berakhir secara lebih elegan.
Namun, di tengah parade mesin pembunuh canggih itu, ada satu teknologi yang tidak pernah disebut dalam konferensi militer, tak pernah dipublikasikan dalam jurnal pertahanan, dan tak dapat dilacak oleh radar atau satelit. Teknologi ini tidak berasal dari Amerika, Rusia, atau Iran. Ia tidak ditemukan oleh laboratorium militer, melainkan oleh sekelompok orang yang entah nyata atau fiksi, dalam sebuah kerajaan yang namanya terus direproduksi dalam pelajaran sejarah sebagai kebanggaan --- meski bentuknya lebih menyerupai mitologi yang dicetak ulang dengan mesin ketik kolonial.