Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bambu Runcing dan Tugu Pensil: Simbol dan Politik Makna dalam Narasi Sejarah Nasional

6 Agustus 2025   21:15 Diperbarui: 6 Agustus 2025   21:44 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bambu runcing ada dua jenis: Ada bambu runcing besar, senjata khas pejuang kemerdekaan. Ada bambu runcing kecil, senjata khas penulis sejarah."

Setiap bangsa, konon katanya, membutuhkan mitos. Tapi tidak semua bangsa cukup beruntung memiliki satu benda runcing dan satu tugu pensil sebagai fondasi spiritualnya. Di negeri ini, kita tidak butuh piramida, tidak perlu Parthenon, tak usah repot membangun Stonehenge atau menyalin Magna Carta. Kita hanya butuh sebilah bambu yang diruncingkan dan sebuah menara yang menyerupai pensil warna raksasa. Voila! Maka jadilah narasi kebangsaan kita: nasionalisme versi tropis yang ditulis dengan tinta penuh semangat, di bawah terik matahari, kadang pakai seragam Pramuka, kadang sambil upacara bendera di hari Senin.

Tapi jangan remehkan bambu. Di tangan yang tepat, ia bisa berubah dari bahan baku angklung menjadi ikon perjuangan. Dalam buku pelajaran sejarah, bambu runcing digambarkan sebagai senjata paling revolusioner yang pernah diciptakan oleh manusia non-industrial. Tidak jelas siapa yang pertama kali meruncingkannya, siapa yang menyisipkan ide bahwa benda itu bisa digunakan untuk melawan senapan Lee-Enfield atau meriam artileri 88mm. Tapi sejarah---yang sudah lama menjadi cabang sastra romantik---menetapkan bahwa bambu runcing adalah manifestasi dari semangat kemerdekaan yang murni dan tak ternodai. Seolah-olah jika semua bambu di dunia diruncingkan dan dipajang di museum, maka kolonialisme akan luntur dengan sendirinya.

Tentu saja, narasi ini penuh dengan estetika heroisme yang manis. Bambu bukan hanya senjata rakyat, ia menjadi metafora: tentang perlawanan, tentang kesederhanaan, tentang keaslian. Namun, dalam dunia di mana semiotika menggantikan logika, kita perlu curiga. Karena dalam simbol, yang tampak tidak selalu yang dimaksud. Sebilah bambu yang tajam bisa berarti senjata, tapi juga bisa berarti pena---alat tulis tradisional yang digunakan dalam manuskrip kuno, kitab kuning, dan surat-surat pengadilan kolonial.

Monumen Bambu Runcing, Pontianak. (Kredit: Caleb Baustin/Pinterest) 
Monumen Bambu Runcing, Pontianak. (Kredit: Caleb Baustin/Pinterest) 

Dan di sinilah letak permainan semiotiknya. Bambu runcing tidak hanya membunuh secara literal, ia juga menulis. Ia menciptakan narasi, mencatat sejarah, dan menyisipkan tafsir. Dalam perspektif semiopolitik kolonial, kita bisa mengatakan: bambu runcing bukan semata-mata senjata, tapi kode. Ia adalah simbol ambivalen---runcing sebagai ujung kekerasan, tapi juga sebagai ujung pena yang menulis sejarah tandingan. Dan jika pena lebih tajam dari pedang, maka bambu runcing adalah bentuk tropikal dari epistemologi revolusioner: separuh bambu, separuh kebenaran.

Tapi tunggu. Masih ada satu simbol lagi yang layak dibahas: Tugu Pahlawan. Di Surabaya, monumen ini menjulang gagah seperti gigi taring seorang dewa nasionalisme. Ia adalah penis visual dari masa lalu heroik, menusuk langit dengan tekad, mengukuhkan keberanian rakyat pada 10 November 1945. Tapi jika kita melihatnya dari kejauhan, atau lebih buruk lagi dari sudut anak-anak yang baru belajar menggambar, tugu itu lebih menyerupai pensil warna raksasa. Ini bukan penghinaan. Ini observasi semiotik. Dan seperti semua simbol negara, makna tugu itu juga multitafsir---seperti kamus yang kehilangan definisi.

Tugu Pahlawan sebagai pensil membuka ruang tafsir baru. Jika bambu runcing adalah senjata dan pena, maka tugu pensil adalah amplifikasi visual dari narasi: simbol bahwa sejarah nasional bukan hanya terjadi, tapi juga ditulis. Dalam bahasa yang lebih nakal: kita sedang diajak percaya bahwa Indonesia merdeka karena ada pertempuran berdarah, padahal sejarahnya ditulis oleh orang-orang yang duduk, mengarsip, dan---dengan pena bambu atau pensil warna---menetapkan siapa pahlawan dan siapa pemberontak.

Tentu, kita tidak menuduh bahwa semua narasi perjuangan adalah fiktif. Tapi dalam kerangka dekonstruksi historiografi, kita tahu bahwa narasi sejarah tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah produk politik, hasil editing kuasa, dan---seperti tugu pensil itu---dirancang untuk terlihat "kokoh" tapi tetap bisa dihapus, diganti, atau diasah ulang. Ini bukan teori konspirasi. Ini teori pascamodernisme tropis, di mana tidak semua simbol dibaca sebagaimana mestinya.

Tugu Pahlawan, Surabaya. (Kredit: Mahfudhoh/Pinterest) 
Tugu Pahlawan, Surabaya. (Kredit: Mahfudhoh/Pinterest) 

Dalam sejarah kolonial, kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk VOC, senapan Snider-Enfield, atau keputusan Raad van Indie. Kekuasaan hadir dalam simbol, dalam teks, dalam arsitektur dan pakaian seragam. Pemerintah kolonial Belanda sangat paham bahwa penjajahan yang baik adalah penjajahan yang tidak terasa sebagai penjajahan. Maka dibuatlah sekolah, kitab pelajaran, kantor pos, dan museum. Semua itu adalah instrumen simbolik untuk menyisipkan "kebenaran" versi kolonial. Tapi rakyat Nusantara tidak bodoh. Mereka melawan dengan cara yang tidak selalu kasatmata: mereka menciptakan bahasa sandi, plesetan, parodi. Mereka menyelundupkan makna dalam nyanyian rakyat, dalam tembang macapat, dalam doa dan sindiran.

Bambu runcing dan tugu pensil, jika dibaca dengan kacamata semiotik kritis, bukan sekadar artefak sejarah. Mereka adalah teks yang mengandung ketegangan antara dominasi dan resistensi. Mereka menjadi arena tafsir, tempat narasi resmi dan makna alternatif bertarung tanpa gendang perang. Di satu sisi, negara membakukan mereka sebagai lambang nasionalisme. Di sisi lain, masyarakat---secara sadar atau tidak---membaca mereka dengan liris, ironis, bahkan sinis.

Sejarah nasional Indonesia, seperti juga sejarah negara lain, tidak dibangun dari peristiwa semata. Ia dibangun dari simulakra, dari penggandaan simbol yang meniru realitas dan pada akhirnya menggantikannya. Dalam terminologi Jean Baudrillard, kita tidak lagi mengenang pertempuran Surabaya, kita mengenang monumen dari pertempuran itu, lalu menciptakan versi ulangnya di atas panggung-panggung teatrikal pada Hari Pahlawan. Perjuangan menjadi panggung. Darah menjadi dekorasi. Tugu menjadi ingatan yang diukir, tapi tak pernah dibaca ulang.

Dan di tengah-tengah itu semua, bambu runcing tetap berdiri tegak dalam buku pelajaran, seperti jimat kolektif bangsa ini. Ia diromantisasi sebagai senjata "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", padahal dalam praktiknya, tidak ada satu pun yang bisa membuktikan siapa sebenarnya yang pertama meruncingkan bambu. Tidak ada akta kelahiran bambu runcing. Tidak ada sertifikat pahlawan yang tertulis di atas bambu. Tapi justru di situlah kekuatannya: ia mengambang di antara sejarah dan fiksi, antara realitas dan mitos, antara pena dan tombak.

Begitu pula dengan Tugu Pahlawan. Ia bukan sekadar monumen. Ia adalah bentuk material dari narasi besar yang sudah terlalu sering diulang sehingga terdengar seperti lagu wajib: khidmat, tapi kehilangan semangat. Ia menjadi totem nasionalisme---menjulang tinggi, tapi sering tak dilihat kecuali sebagai latar belakang foto. Dan bentuk pensilnya adalah sindiran tanpa suara bahwa sejarah ditulis, bukan diperjuangkan. Bahwa memori kolektif bisa dibentuk oleh arsitek, bukan hanya oleh pejuang.

Dalam permainan semiopolitik kolonial, simbol-simbol ini tidak pernah polos. Mereka menyimpan makna yang saling bertubrukan: antara yang dimaksud dan yang disembunyikan, antara yang dinarasikan dan yang disabotase. Mereka adalah permainan kode---dan rakyat Indonesia telah menjadi pemain yang lihai dalam membaca dan mengacak ulang kode tersebut. Maka tidak heran jika dalam budaya populer, bambu runcing bisa menjadi nama warung sate, dan tugu pahlawan bisa dijadikan titik pertemuan ojek online. Kita tertawa, tapi itu adalah bentuk tertinggi dari dekonstruksi---menurunkan simbol dari altar kesakralannya dan mengembalikannya ke tangan rakyat.

Sejarah, pada akhirnya, tidak pernah sepenuhnya milik masa lalu. Ia adalah proyek tafsir yang terus berlangsung. Dan selama bambu runcing masih diajarkan sebagai "senjata rakyat" tanpa diajarkan juga sebagai "pena bambu", maka narasi kita akan terus setengah. Selama tugu pensil berdiri tanpa dibaca sebagai simulasi sejarah, maka kebangsaan kita akan terus mengulang drama yang sama---heroisme yang dibekukan dalam beton, tapi lupa menyebut siapa yang mencetak narasinya di kertas.

Patung Bambu Runcing, Rappang, Sidrap. (Kredit: pradja_moeda@blogspot.com) 
Patung Bambu Runcing, Rappang, Sidrap. (Kredit: pradja_moeda@blogspot.com) 

Barangkali sudah saatnya kita menulis ulang sejarah bukan dengan darah, bukan pula dengan pensil warna buatan negara, tapi dengan bambu runcing versi baru: pena tajam, bahasa kritis, dan tafsir yang tak bisa disensor. Karena kalau tidak, kita hanya akan terus menghafal simbol---tanpa pernah benar-benar membacanya.

Tentu, Anda bisa saja menyanggah bahwa semua ini berlebihan. Bahwa tidak semua simbol perlu dianalisis dengan kaca pembesar semiotik. Bahwa terkadang bambu hanyalah bambu, tugu hanyalah tugu, dan sejarah---ya, sejarah hanyalah deretan peristiwa di masa lalu yang tak perlu didekonstruksi habis-habisan seperti puisi surealis. Tapi mari kita ingat: dalam negara pascakolonial, apa pun bisa menjadi alat kekuasaan, terutama yang tidak terlihat. Dan simbol---terutama yang sudah dinasionalisasikan---adalah bentuk kekuasaan yang paling halus, paling diam-diam, tapi juga paling merasuk.

Di sekolah-sekolah dasar, anak-anak diajari menggambar bambu runcing dengan latar belakang merah putih. Kadang ada siluet pejuang, kadang ada matahari terbit di belakang gunung. Lukisan ini tidak salah. Tapi ia bukan sekadar lukisan---ia adalah repetisi ideologis. Anak-anak diajak tidak hanya mengenang perjuangan, tapi juga mengalami pengulangan visual dari mitos nasionalisme. Dan mitos yang diulang terus-menerus, sebagaimana dikatakan Roland Barthes, bukan lagi mitos: ia menjadi "alamiah", padahal ia sangat politis.

Bayangkan sebuah negara yang berhasil menggantikan ingatan rakyatnya dengan gambar bambu runcing dan tugu pensil. Negara itu tak perlu lagi melarang, mengawasi, atau mengekang. Cukup mendikte simbol, dan membiarkan masyarakat menginternalisasi makna. Dalam psikologi politik, ini disebut sebagai bentuk internalized control, kekuasaan yang tidak perlu hadir karena sudah ditanamkan dalam bentuk tanda.

Mari kita kembali ke tugu pensil. Secara arsitektural, tugu itu tampak sederhana. Ia tidak seangkuh Menara Eiffel atau semegalomania Burj Khalifa. Tapi dalam kesederhanaannya, ia menyimpan kekuatan yang tidak kalah besar. Ia berdiri sebagai monumen terhadap "sesuatu" yang tidak sepenuhnya dapat kita rekonstruksi. Apakah kita benar-benar tahu apa yang terjadi pada 10 November 1945? Siapa yang berperang melawan siapa? Siapa yang mati dan siapa yang kemudian diberi gelar? Apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul karena simbol sudah menggantikan narasi. Tugu menjadi pengganti sejarah. Kita tak lagi diajak untuk bertanya, tapi hanya untuk mengenang. Dan mengenang, dalam konteks kekuasaan, sering kali adalah tindakan yang sudah dikurasi. Ia seperti album foto keluarga---hanya memperlihatkan momen bahagia dan menyembunyikan pertengkaran di balik layar.

Di sisi lain, rakyat kecil yang tidak memiliki akses pada narasi resmi, justru sering memainkan simbol dengan lebih bebas. Mereka menjadikan bambu runcing sebagai nama warung, nama klub sepak bola lokal, bahkan nama band. Ini bukan penghinaan. Ini cara rakyat untuk mengembalikan simbol kepada kehidupan sehari-hari, melepaskannya dari cengkeraman sakralisasi negara. Tugu Pahlawan jadi titik janjian, lokasi konten TikTok, tempat nongkrong remaja. Sekali lagi, ini bukan dekadensi. Ini bentuk folk resistance terhadap dominasi makna.

Jika pemerintah ingin agar rakyat terus mengagungkan simbol-simbol nasional, maka simbol itu harus dibiarkan hidup. Tapi jika simbol itu dibakukan, dipatungkan, diupacarakan setiap tahun dengan wajah-wajah yang sama dan pidato yang di-copy-paste dari tahun lalu, maka simbol itu akan mati---dan mati dalam diam. Bambu runcing akan tinggal menjadi siluet di buku pelajaran. Tugu pensil akan tinggal menjadi latar belakang Google Maps.

Dan inilah ironi terbesar dari nasionalisme simbolik: ketika simbol sudah terlalu sering digunakan, ia kehilangan makna. Ketika semua hal bisa disebut "semangat bambu runcing"---dari turnamen e-sport sampai program P5 di kurikulum Merdeka---maka yang terjadi bukanlah penguatan nasionalisme, tapi banalisasi makna. Simbol menjadi klise. Dan klise, dalam dunia kritik, adalah bentuk kematian ide.

Tapi seperti kata Derrida, tidak ada makna yang benar-benar mati. Yang ada hanyalah pergeseran dan penundaan. Maka tugas kita sebagai pembaca sejarah bukan mencari makna yang "asli" dari bambu runcing atau tugu pensil, melainkan membaca celah-celahnya, kekosongannya, absurditasnya. Karena justru di situlah kita menemukan peluang untuk menyusun narasi baru.

Barangkali memang benar: sejarah Indonesia tidak ditulis dengan senjata, tapi dengan pena. Tapi pena itu terbuat dari bambu, dan tintanya adalah air mata, keringat, dan sedikit tinta hitam yang diselundupkan dari Singapura. Barangkali memang benar: kita tidak sedang mengenang pertempuran, tapi sedang mengarsipkan perasaan tentang pertempuran itu. Dan perasaan itu, seperti semua perasaan dalam sejarah, mudah dibajak, mudah disensor, mudah dibingkai.

Dengan demikian, jika kita ingin membebaskan sejarah dari kerangkeng simbol, maka kita harus membebaskan simbol dari monopoli makna. Kita harus membiarkan bambu runcing menjadi apa pun: pena, tombak, sedotan, atau bahkan alat musik. Kita harus membiarkan tugu pensil dibaca sebagai pensil warna, peluru, atau bahkan spidol yang sudah kering. Karena kebebasan bersejarah dimulai dari kebebasan membaca.

Dan di akhir permainan ini, kita menyadari bahwa sejarah Indonesia adalah semacam teka-teki silang, di mana jawabannya sudah ditulis di buku pegangan guru, tapi petunjuknya disebar dalam bentuk upacara, lagu wajib, dan mural sekolah dasar. Kita menghafal, tapi tidak memahami. Kita merayakan, tapi tidak mempertanyakan. Kita bangga, tapi diam-diam bosan.

Maka satu-satunya jalan keluar dari kejenuhan nasionalisme simbolik adalah: membaca ulang simbol dengan tawa. Karena satire adalah bentuk tertinggi dari cinta. Ketika kita menertawakan bambu runcing, bukan berarti kita menghinakan perjuangan. Justru dengan menertawakan, kita menyelamatkannya dari kepunahan makna. Kita menjadikan simbol hidup kembali---bukan di altar kekuasaan, tapi di panggung masyarakat.

Dan siapa tahu, suatu hari nanti, anak-anak sekolah akan menggambar bambu runcing bukan karena disuruh, tapi karena ingin. Dan mereka akan menggambar tugu pensil bukan karena kurikulum, tapi karena penasaran. Dan di situlah, barangkali, nasionalisme yang sejati bisa tumbuh: bukan dari upacara, bukan dari pidato, tapi dari tanya yang tulus.

Dan mungkin, hanya mungkin, sejarah akan tersenyum melihat kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun