Dalam sejarah kolonial, kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk VOC, senapan Snider-Enfield, atau keputusan Raad van Indie. Kekuasaan hadir dalam simbol, dalam teks, dalam arsitektur dan pakaian seragam. Pemerintah kolonial Belanda sangat paham bahwa penjajahan yang baik adalah penjajahan yang tidak terasa sebagai penjajahan. Maka dibuatlah sekolah, kitab pelajaran, kantor pos, dan museum. Semua itu adalah instrumen simbolik untuk menyisipkan "kebenaran" versi kolonial. Tapi rakyat Nusantara tidak bodoh. Mereka melawan dengan cara yang tidak selalu kasatmata: mereka menciptakan bahasa sandi, plesetan, parodi. Mereka menyelundupkan makna dalam nyanyian rakyat, dalam tembang macapat, dalam doa dan sindiran.
Bambu runcing dan tugu pensil, jika dibaca dengan kacamata semiotik kritis, bukan sekadar artefak sejarah. Mereka adalah teks yang mengandung ketegangan antara dominasi dan resistensi. Mereka menjadi arena tafsir, tempat narasi resmi dan makna alternatif bertarung tanpa gendang perang. Di satu sisi, negara membakukan mereka sebagai lambang nasionalisme. Di sisi lain, masyarakat---secara sadar atau tidak---membaca mereka dengan liris, ironis, bahkan sinis.
Sejarah nasional Indonesia, seperti juga sejarah negara lain, tidak dibangun dari peristiwa semata. Ia dibangun dari simulakra, dari penggandaan simbol yang meniru realitas dan pada akhirnya menggantikannya. Dalam terminologi Jean Baudrillard, kita tidak lagi mengenang pertempuran Surabaya, kita mengenang monumen dari pertempuran itu, lalu menciptakan versi ulangnya di atas panggung-panggung teatrikal pada Hari Pahlawan. Perjuangan menjadi panggung. Darah menjadi dekorasi. Tugu menjadi ingatan yang diukir, tapi tak pernah dibaca ulang.
Dan di tengah-tengah itu semua, bambu runcing tetap berdiri tegak dalam buku pelajaran, seperti jimat kolektif bangsa ini. Ia diromantisasi sebagai senjata "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", padahal dalam praktiknya, tidak ada satu pun yang bisa membuktikan siapa sebenarnya yang pertama meruncingkan bambu. Tidak ada akta kelahiran bambu runcing. Tidak ada sertifikat pahlawan yang tertulis di atas bambu. Tapi justru di situlah kekuatannya: ia mengambang di antara sejarah dan fiksi, antara realitas dan mitos, antara pena dan tombak.
Begitu pula dengan Tugu Pahlawan. Ia bukan sekadar monumen. Ia adalah bentuk material dari narasi besar yang sudah terlalu sering diulang sehingga terdengar seperti lagu wajib: khidmat, tapi kehilangan semangat. Ia menjadi totem nasionalisme---menjulang tinggi, tapi sering tak dilihat kecuali sebagai latar belakang foto. Dan bentuk pensilnya adalah sindiran tanpa suara bahwa sejarah ditulis, bukan diperjuangkan. Bahwa memori kolektif bisa dibentuk oleh arsitek, bukan hanya oleh pejuang.
Dalam permainan semiopolitik kolonial, simbol-simbol ini tidak pernah polos. Mereka menyimpan makna yang saling bertubrukan: antara yang dimaksud dan yang disembunyikan, antara yang dinarasikan dan yang disabotase. Mereka adalah permainan kode---dan rakyat Indonesia telah menjadi pemain yang lihai dalam membaca dan mengacak ulang kode tersebut. Maka tidak heran jika dalam budaya populer, bambu runcing bisa menjadi nama warung sate, dan tugu pahlawan bisa dijadikan titik pertemuan ojek online. Kita tertawa, tapi itu adalah bentuk tertinggi dari dekonstruksi---menurunkan simbol dari altar kesakralannya dan mengembalikannya ke tangan rakyat.
Sejarah, pada akhirnya, tidak pernah sepenuhnya milik masa lalu. Ia adalah proyek tafsir yang terus berlangsung. Dan selama bambu runcing masih diajarkan sebagai "senjata rakyat" tanpa diajarkan juga sebagai "pena bambu", maka narasi kita akan terus setengah. Selama tugu pensil berdiri tanpa dibaca sebagai simulasi sejarah, maka kebangsaan kita akan terus mengulang drama yang sama---heroisme yang dibekukan dalam beton, tapi lupa menyebut siapa yang mencetak narasinya di kertas.
Barangkali sudah saatnya kita menulis ulang sejarah bukan dengan darah, bukan pula dengan pensil warna buatan negara, tapi dengan bambu runcing versi baru: pena tajam, bahasa kritis, dan tafsir yang tak bisa disensor. Karena kalau tidak, kita hanya akan terus menghafal simbol---tanpa pernah benar-benar membacanya.
Tentu, Anda bisa saja menyanggah bahwa semua ini berlebihan. Bahwa tidak semua simbol perlu dianalisis dengan kaca pembesar semiotik. Bahwa terkadang bambu hanyalah bambu, tugu hanyalah tugu, dan sejarah---ya, sejarah hanyalah deretan peristiwa di masa lalu yang tak perlu didekonstruksi habis-habisan seperti puisi surealis. Tapi mari kita ingat: dalam negara pascakolonial, apa pun bisa menjadi alat kekuasaan, terutama yang tidak terlihat. Dan simbol---terutama yang sudah dinasionalisasikan---adalah bentuk kekuasaan yang paling halus, paling diam-diam, tapi juga paling merasuk.
Di sekolah-sekolah dasar, anak-anak diajari menggambar bambu runcing dengan latar belakang merah putih. Kadang ada siluet pejuang, kadang ada matahari terbit di belakang gunung. Lukisan ini tidak salah. Tapi ia bukan sekadar lukisan---ia adalah repetisi ideologis. Anak-anak diajak tidak hanya mengenang perjuangan, tapi juga mengalami pengulangan visual dari mitos nasionalisme. Dan mitos yang diulang terus-menerus, sebagaimana dikatakan Roland Barthes, bukan lagi mitos: ia menjadi "alamiah", padahal ia sangat politis.