Kadang-kadang sejarah dan hukum bisa punya selera humor yang sangat halus—atau sangat sarkastik. Coba perhatikan baik-baik: Negarakretagama, karya Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365 M, isinya adalah katalog klaim wilayah Majapahit ke seluruh penjuru Nusantara. Sementara di zaman modern, ada satu pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sangat populer dan sering dijadikan senjata para pengacara: Pasal 1365, tentang perbuatan melawan hukum. Apakah ini kebetulan numerik biasa? Atau… apakah semesta sedang menyelipkan kode alam? “Kalau kamu suka ngaku-ngaku wilayah orang di tahun 1365, siap-siap digugat pakai pasal 1365”?
Mari kita berandai-andai sedikit. Tahun 1365 Masehi, di bawah temaram cahaya lentera dan aroma dupa istana, Mpu Prapanca sedang sibuk menulis apa yang pada dasarnya adalah brosur promosi kekuasaan ala Majapahit. Judulnya memang indah: Negarakretagama. Tapi isinya? Full klaim sepihak. Mulai dari Sumatera, Malaka, Buton, Bali, Maluku, sampai Papua yang entah dari mana tahu-tahu ikut masuk daftar. Pokoknya semua dijembreng seolah sedang bikin peta dunia versi lokal, tanpa riset lapangan, tanpa konfirmasi narasumber, dan tanpa izin pemilik tanah. Sangat cocok jadi bahan gugatan massal—kalau saja pasal 1365 sudah berlaku saat itu.
Bayangkan kalau Majapahit masih eksis hari ini, pasti sudah kewalahan menerima surat panggilan pengadilan. Sebab, menurut pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.”
Nah, coba cocokkan. Klaim wilayah sepihak? Ada. Kerugian pihak lain? Banyak. Unsur melawan hukum? Silakan tanya ahli waris Kerajaan Sunda. Apalagi setelah tragedi Bubat, yang bisa masuk kategori penggagalan perjodohan secara sistematis plus pembantaian. Kalau Sunda punya tim kuasa hukum kala itu, Majapahit bisa kena tuntutan karena trauma historis multigenerasi.
Lalu lihat Bali. Dalam Negarakretagama, disebut sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit. Padahal masyarakat Bali sedang asyik-asyiknya hidup damai dengan awig-awig, lontar, dan upacara ngaben. Tiba-tiba dicaplok secara administratif. Kalau hari ini, itu mirip-mirip perusahaan asing yang tiba-tiba pakai logo desa adat buat promosi produk tanpa izin. Masuk pasal 1365? Masuk banget. Bahkan bisa kena tambahan pasal pelanggaran hak komunal.
Buton dan Maluku? Sama. Tahu-tahu dimasukkan dalam daftar sebagai wilayah yang tunduk dan wajib setor rempah. Rempahnya belum panen, manusianya belum kenalan, tapi sudah diklaim sebagai mitra dagang strategis. Di pengadilan hari ini, itu bisa dikategorikan sebagai pemalsuan hubungan diplomatik.
Papua? Nah, ini paling ajaib. Di tahun 1365, Papua barangkali belum pernah dengar kabar soal Majapahit. Tapi namanya sudah masuk brosur. Ini setara dengan orang yang mengaku berteman dekat dengan selebriti Hollywood, padahal baru sekali lihat di televisi. Di dunia hukum, itu bisa masuk pasal 1365 dengan embel-embel kerugian reputasi budaya.
Mari kita simulasikan sidang:
Hakim: “Apakah terdakwa, Kerajaan Majapahit, mengakui telah membuat daftar wilayah dari Sumatera sampai Papua tanpa konfirmasi dari pihak bersangkutan?”
Majapahit: “Itu cuma deklarasi, Yang Mulia. Kami cuma bikin daftar buat pamer.”