Di banyak rumah, meja makan adalah tempat sakral. Di situlah keluarga berkumpul dan berbagi cerita. Tapi di rumah kami, di sebuah desa di Sulawesi Selatan, meja makan tak pernah jadi bagian dari kenangan.Â
Bahkan mungkin tak pernah ada sejak rumah panggung kami berdiri. Kami tak tumbuh di sekeliling meja empat persegi dari kayu jati atau rotan, tapi justru dalam lingkaran baki'—nampan bundar yang menjadi pusat kehidupan kecil setiap kali waktu makan tiba.
Dapur di rumah kami tak hanya tempat memasak, tapi sekaligus ruang makan. Lantainya terbuat dari papan-papan kecil, panjang dan sempit, disusun dengan celah-celah yang cukup lebar untuk menjatuhkan remah nasi atau duri ikan tanpa perlu bersih-bersih terlalu repot.Â
Di bawahnya, itik dan ayam sudah paham peran mereka: pemungut rezeki yang berjatuhan. Sesekali kami menyisipkan tulang ikan ke sela papan.Â
Satu-dua detik kemudian terdengar suara itik mematuk dengan takzim. Tak ada sampah organik yang sia-sia di rumah panggung seperti ini.
Kami makan sambil duduk bersila, mengelilingi baki' yang diletakkan begitu saja di tengah-tengah. Di atas baki, lauk pauk ditata tanpa basa-basi. Ada ikan kandia' goreng dan sambel terasi yang kadang pedasnya menyengat sampai ke hidung.Â
Dan, tentu saja, potongan mentimun yang serasa embun di tengah mulut yang terbakar. Tapi yang paling kunanti-nanti adalah kaju tettu’: sayur kampung dari daun singkong muda yang ditumbuk halus, lalu dimasak dengan santan.Â
Bila lauk menipis, kami cukup menggali rasa dari kuah santan itu dan nasi tetap bisa habis tanpa keluhan.
Lobo, penutup lauk berbentuk kubah yang terbuat dari anyaman bambu, adalah penentu nasib makan siang sepulang sekolah. Bila Lobo diangkat dan hanya ada sambel, maka telur itiklah penyelamat hari itu.Â
Tak perlu panik, cukup ke bawah rumah, ambil satu dua butir telur dari kandang, goreng sebentar, dan makan bisa dimulai seperti biasa. Tak ada yang perlu dikeluhkan.Â