Baru-baru ini kita dikejutkan dengan akrobatik politik ekonomi ala Menteri Keuangan Sri Mulyani, draff rancangan undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan kembali memunculkan ketentuan yang mengejutkan masyarakat. Sebelumnya publik dikagetkan dengan adanya aturan mengenai pengampunan pajak dalam RUU itu. Padahal, tax amnesty baru empat tahun lalu dilaksanakan, dan tentu telah menghasilkan basis data yang memadai bagi analisis demi penegakan hukum. Misalnya dengan melakukan telaah terhadap para wajib pajak yang tidak mengikuti program tersebut. Kebijakan pengampunan pajak memuat aturan sanksi bagi yang tidak melaporkan kekayaan secara benar.
Penerapan aturan tersebut bisa dilakukan sebagai salah satu prioritas dalam upaya meningkatkan pendapatan negara. Selain soal tax amnesty, kontroversi muncul seputar kebijakan baru mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) yang dicanangkan dalam draf RUU tersebut. Ada rencana menaikkan tarif PPN. Indonesia mengikuti sistem pertambahan nilai pada setiap rantai produksi dan rantai distribusi yang panjang. Dengan pola seperti itu, sebenarnya tidak sederhana untuk menyimpulkan tarif tunggal PPN di negeri ini yang sebesar sepuluh persen lebih rendah daripada ratarata di Asia dan dunia.
Meskipun tarif PPN hanya 10 persen, yang dibayarkan konsumen bisa lebih tinggi mengingat apa yang dibeli kemungkinan sudah terkena pajak secara beruntun. Tarif PPN rata-rata Asia sebesar 12 persen, sedangkan dunia 16 persen. Pertimbangan itu dikabarkan menjadi salah satu alasan pemerintah mengupayakan kenaikan penerimaan dari PPN Pemerintah memandang kenaikan pendapatan menjadi solusi di tengah tuntutan untuk mengurangi defisit APBN.
Kenaikan PPN direncanakan mulai tahun depan, yang merupakan tahun terakhir APBN diperbolehkan defisit melebihi tiga persen produk domestik bruto (PDB). Kondisi darurat karena bencana kesehatan berimplikasi pada keputusan mengubah defisit, dengan batas sampai 6,34 persen PDB, namun hanya sampai 2022. PPN relatif mudah dalam pengenaan dan pemungutannya, maka memproyeksikannya pun tak sulit. Karakteristik itu berimplikasi pada kebijakan menyandarkan PPN sebagai andalan utama penambahan penerimaan pemerintah. Namun, agresivitasnya memunculkan kontroversi karena akan mengakibatkan penambahan jenis barang dan jasa yang dibebani PPN.
Rencananya bahan pokok akan dikenai PPN, begitu pula jasa pendidikan. Bila ketentuan itu jadi dilaksanakan, maka lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi, bahkan juga lembaga bimbingan belajar akan menjadi pemungut PPN. Dengan memungut PPN, lembaga pendidikan akan menambahkan jasa yang diberikan dengan hasil kali antara biaya jasa tersebut dengan tarif PPN yang nanti diputuskan pemerintah.
Di tengah pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir, maka rencana kenaikan PPN seakan-akan mengabaikan sensitivitas masyarakat. Yang tergambar, keputusan tersebut akan menggerus daya beli masyarakat, karena otomatis akan menaikkan harga-harga barang dan jasa. Hasil akhirnya adalah pelemahan daya beli masyarakat, dan menolak kebijakan ini adalah pilihan terbijak***.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana, Magister Ilmu Politik FISIP USU Angkatan 2020.