Mohon tunggu...
Tenang Sapardi
Tenang Sapardi Mohon Tunggu... -

pengajar, pengusaha kecil-kecilan, penggemar tahu tempe, sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hengkangnya Investor Migas di Mata Pajak

14 Maret 2014   00:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa perusahaan migas asing akan hengkang dari Indonesia antara lain Hess Corporation (Amerika Serikat), Anadarko Petroleum Corporation (Amerika Serikat), Korean National Oil Corporation (Korea Selatan), dan Premier Oil (inggris). Harian Kontan mencatat ada lima penyebab utama hengkangnya para investor migas. Pertama, data potensi migas pemerintah tidak akurat. Kedua, izin yang berbelit. Ketiga, pengenaan PBB Migas tahap eksplorasi. Keempat, pengembalian cost recovery perlu diaudit oleh auditor pemerintah. Kelima, Turunnya harga gas di pasar international.

PBB Migas dianggap sebagai salah satu faktor penyebab hengkangnya para investor migas hal ini perlu informasi yang lengkap terkait penata usahaan PBB Migas agar publik mempunyai persepsi yang benar terkait aspek pajak dalam investasi migas. Penulis sangat menyayangkan pernyataan pejabat SKK Migas sebagaimana dikutip dalam Harian Kontan tanggal 13 Maret 2014 yang dapat menimbulkan persepsi negatif atas aspek pajak dalam investasi migas terutama PBB migas, sedangkan penulis cukup memaklumi pernyataan pihak Indonesia Petroleum Association (IPA). Lebih jauh PBB merupakan jenis pajak yang menjadi instrumen langsung (direct instrument) keseimbangan fiskal dalam konteks desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah artinya dampak politisnya cukup luas bagi pembangunan daerah.

Setahu penulis ada 2 (dua) regim terkait mekanisme pembayaran PBB migas; pertama, regim kontrak yang ditanda tangani sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010, dan kedua, regim kontrak yang ditanda tangani pasca PP-79. Sedangkan penata usahaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor: 76/PMK.03/2013. Untuk regim sebelum PP-79 perusahaan migas tidak membayar PPB migas tetapi dibayar oleh pemerintah melalui bagian sharing produksi migas hak pemerintah atau dengan kata lain PBB Migas merupakan beban pemerintah. Sedangkan untuk regim pasca PP-79 pembayaran PBB Migas menjadi beban bersama pemerintah dan perusahaan migas sebagimana dituangkan dalam Paragraf I huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010. Maksud menjadi beban bersama pemerintah dengan perusahaan kontraktor migas adalah bahwa perusahaan migas membayar secara langsung atau membayar sendiri kewajiban PBB migasnya ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan, kemudian memasukan besarnya PBB migas yang dibayar dalam komponen biaya yang akan menjadi komponen cost recovery yang akan dibayarkan pemerintah. Artinya secara tidak langsung PBB Migas akan menjadi beban pemerintah.

Ada beberapa permasalahan utama yang perlu adanya kesepahaman antara pemerintah dan perusahaan migas antara lain:


  • Tidak adanya beleid dalam peraturan PP-79 tahun 2010 maupun PMK-76/PMK.03/2013 penataa usahaan PBB migas terkait perbedaan perlakuan penataa usahaan PBB migas pada tahap eksplorasi dan tahap eksploitasi. Hal tersebut menyebabkan otoritas pajak akan mengenakan dan menetapkan PBB Migas sesuai peraturan yang berlaku dan menagih pembayaran PBB migas melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) kepada perusahaan migas.
  • Adanya tuntutan dari perusahaan migas melalui IPA agar PBB Migas dalam tahap eksplorasi dibebaskan atau tidak dikenakan.
  • Dalam tahap eksplorasi perusahaan migas memerlukan likuiditas yang memadai sehingga membutuhkan skema pembayaran PBB migas yang lebih smooth.
  • Belum cukup transparansinya pengelolaan migas. Data-data yang menjadi variabel penghitungan PBB migas acapkali berbeda sehingga sering terjadi sengketa antara perusahaan migas dengan pemerintah atau antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait penyaluran DBH Pajak.


Atas beberapa permasalahan tersebut sepanjang belum ada peraturan baru yang mengatur perbedaan perlakuan pembayaran PBB migas tahap eksplorasi dan tahap eksploitasi maka perusahaan migas akan dikenakan pajak meskipun tahap eksplorasi. sebenarnya yang menjadi masalah adalah besarnya nilai ketetapan PBB Migas yang tertuang dalam SPPT atas perusahaan migas yang masih dalam tahap eksplorasi, perusahaan migas merasa keberatan sebagaimana tuntutan yang disampaikan IPA, itupun prosesnya sesuai atauran perpajakan adalah melalui proses keberatan. Untuk tahun 2014 penulis yakin bahwa besarnya ketetapan PBB migas akan jauh lebih kecil dibanding tahun sebelumnya untuk perusahaan migas yang masih tahap eksplorasi. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan peraturan yang cukup mendasar dalam tata cara pengenaan dan penetapan PBB Migas intinya adalah bahwa PBB migas dikenakan atas wilayah kerja pertambangan yang benar-benar dipergunakan dalam tahap eksplorasi berbeda dengan aturan sebelumnya yang dikenakan atas seluruh wilayah kerja sebagaimana Peraturan Dirjen Pajak Nomor 45/PJ/2013. Artinya tuntutan perusahaan migas terkait pengenaan PBB migas sedikit terobati dengan peraturan tersebut dan perlu perusahaan migas melihat penetapan tahun 2014. sehingga alasan hengkangnya investor migas menurut hematnya bukan karena PBB migas.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun