Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Imlek Komed] Kue Keranjang, Toa Pe Kong dan Makna Persaudaraan

7 Februari 2019   22:53 Diperbarui: 8 Februari 2019   02:11 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kue Keranjang Khas Imlek Dok./Pri

Setiap Imlek datang, setiap itu pula hujan meski sekedar rinai gerimis. Suasana itu seperti membawaku pada lorong waktu. Sekitar tahun 80-an, dalam rentang usaia 5-7 tahun aku merasakan sebuah momen yang hingga saat ini selalu terkenang saat Imlek datang. Kala itu imlek hanya dirayakan dalam lingkup kecil. Jarang ada pertunjukan barongsai atau liong yang bisa disaksikan masyarakat.  

Masa kecil dulu tinggal tak jauh dari lingkungan pecinan. Pada umumnya mereka memiliki toko untuk berdagang. Dan persis di sebelah rumah nenek yang waktu itu kami tempati adalah keluarga keturunan Tionghoa.

Lekat dalam ingatan, sore itu masih di di akhir tahun 80-an gerimis mengguyur sedari pagi. Aku asik bermain air hujan di pelataran. Persis disebelah rumah, ada gerojokan air yang dialirkan dari pipa paralon. 

Sembari bermain air, aku melihat rumah tetangga tampak  ramai. Hingga anak tetangga sebut saja mbak Vey yang usianya terpaut 2 tahun diatasku keluar sembari membawa makanan berwarna cokelat berbentuk bulat dalam kemasan plastik. Telunjuknya tampak asik mencolek makanan yang tampak masih lembek, kemudian memasukkannya ke dalam mulut. 

Aku kecil begitu penasaran dengan rasa makanan itu.  Dua anak kecil berbeda etnis, masing-masing saling menatap berbatas pagar besi. Aku kecil membayangkan lezatnya kue yang dinikmati mbak Vey. 

Demikian kiranya mbak Vey pun ingin menikmati guyuran air hujan seperti yang sedang aku rasakan saat itu itu. Sesaat setelah itu, aku kecil merengek pada Ibu untuk bisa mencicipi kue yang dikenal dengan kue keranjang.

Sungguh, ini bukan kisah fiksi. Demi memenuhi permintaan anaknya, Ibu melakukan perjuangan luar biasa. Tak sabar menunggu Bapak pulang kerja, aku terus merajuk minta kue itu. 

Hingga dalam hujan, dengan menggunakan becak langgakan, Ibu membawaku serta mencari dimana kue keranjang bisa didapatkan. Zaman belumlah seterbuka sekarang. Suasana perayaan Imlek saat aku kecil jauh dari kesan kentara. 

Toko-toko yang rata-rata dimiliki oleh kalangan Tionghoa yang memungkinkan menjual kue keranjang semua tutup. Zaman itu supermarket belumlah berani memasang pernak pernik imlek atau pun menjual  kue keranjang.

Becak yang kami naiki mengarah ke sebuah bangunan yang dominan berwarna merah dan kuning. Kelak dikemudian hari, aku mengerti bahwa bangunan itu adalah Klenteng atau Vihara. Disana pula, Ibu berhasil memenuhi permintaan anaknya untuk mencicipi kue keranjang. Aku kecil begitu bahagia bisa menikmati jajan yang baru sekali aku rasakan. Meski aku tidak tahu persis cara Ibu mendapatkan kue keranjang itu. ingatan itu begitu mendalam. HIngga kini tiap imlek datang, memori tentang kue keranjang seolah "auto replay".

Awal tahun 1990-an, kami pindah rumah. Tidak lagi menempati rumah nenek yang bertetangga dengan keluarga dari kalangan Tionghoa. Usaha Sandal yang Bapak miliki berkembang cukup pesat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun