[caption id="attachment_324981" align="alignnone" width="536" caption="lapakbarangjadoel.blogspot.com"][/caption]
Adalah Arkand Bodhana Zeshaprajna yang memboomingkan usul ganti nama Nusantara ini. Rasa-rasanya usul ini amat pantas dijadikan bahan diskusi dan bahan kajian generasi muda. Ya agar mengenali akarnya. Akar yang makin dijauhi oleh buah-buahnya yang tergantung. Makin tidak cinta dan makin tidak tahu siapa leluhur yang telah membesarkan.
Alasan Arkand, seperti dilansir merdeka.com, nama Nusantara sudah melekat dan mendarah daging dalam benak rakyat Indonesia. Nama tersebut menurut Arkand memiliki potensi menjadi simbol dan semangat mempersatukan rakyat Indonesia dengan wilayah, suku, pulau, agama yang jumlah besar dan beragam.
Alasan lainnya, jika ingin memperbaiki negara, imbuh Arkand, haruslah mencari satu nama yang disetujui semua pihak. Nama Nusantara, papar Arkand, sudah akrab dan berpotensi lebih disetujui. Arkand juga menandaskan, nama Indonesia dalam dunia metafisika tidak memberi energi yang positif bagi bangsa bangsa.
“Nama dibutuhkan untuk memanggail seseorang atau objek. Nama bukanlah sekedar kata atau kumpulan kata, melainkan mengandung ideasi dan energi. Ilmu fisika menyebut energi bersifat kekal. Tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki energi, termasuk nama,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, negara-negara maju memiliki struktur nama yang berkualitas dan negara-negara yang belum maju dan tetap miskin memiliki struktur nama yang berkualitas rendah.
“Alam semesta dan isinya, berjalan dalam keteraturan yang pasti, dalam satu sistem besar yang pasti. Sistem besar dan seluruh sub-sub sistem di dalamnya adalah manifestasi dari energi yang kekal. Energi itu juga bekerja dalam pikiran manusia,” demikian dalam tulis Arkand dalam situsnya.
Untuk mengukuhkan teorinya, Arkand menjelaskan dalam teori lima lapisan pikiran manusia, yaitu; conscius mind, Subconscius mind, supramental mind, subliminal mind, dan lapisan pikiran subtle causal mind. Menurutnya, terdapat dua pola kerja pikiran, yaitu gambar dan kata-kata. Bagian gambar dalam 3 lapisan teratas, sedangkan kata-kata bekerja di seluruh lapisan pikiran. kata-kata yang bekerja dalam pikiran yang menjadi identitas diri adalah kata-kata yang digunakan sebagai nama diri.
Nama diri tersebut, membentuk energi dan bekerja dalam pikiran manusia. Lantas, membentuk karakter.
Teori Coherence Value
Untuk menganalisa seberapa berkualitas sebuah nama, Arkand menggunakan Teori Coherence Value. Dilansir dari situsnya, arkand.com, teori Coherence Value adalah parameter yang menunjukkan tingkat kekuatan struktur kode-kode dalam diri sendiri yang saling berkaitan antara satu kode dengan kode lainnya. Rentang coherence Value adalah 0.1-1.0, dengan rentang positif ada di 0.7-1.0.
Coherence Value, dalam kehidupan terlihat dalam kemampuan menguasai satu atau beberapa keahlian. Semakin tinggi Coherence Value, maka semakin mampu menguasai satu atau beberapa bidang keahlian. Perbedaan antara satu orang dengan orang lain, ditentukan oleh faktor-faktor seperti coherence synchonicity Value dan Composition of character.
Untuk nama Indonesia, hanya memiliki coherence value 0,2 yang jauh dari kata bagus untuk dijadikan nama. Sayang sekali, untuk menjabarkan teori ini saya sendiri tidak paham sama sekali. Jadi, saya cuma bisa main copas dari situs Arkand. Untuk pemaparan lebih jelas saya hanya bisa menggigit bibir saja. bingung, plus bikin kribo perasaan.
Ya Setuju, Ganti Saja Jadi Nusantara!
Mencerna teori nama Arkand cukup mengerutkan pikiran.Namun demikian, saya sepahat lan sebatu dengan prinsip pandangan Arkand. Pertama, tentang kedekatan emosional antara nama dengan objek yang dinamai. Secara emosional, nama Indonesia memang berasa asing dan hambar pemaknaan dalam pikiran, sehingga cenderung tak melekat dalam benak.
Ya, nama Indonesia adalah bahasa asing. Saya pribadi belum tahu arti dan berasal bahasa mana istilah Indonesia ini. Namun dalam fakta sejarah, dilansir wikipedia, nama Indonesia dicetuskan pertama kali oleh adalah orang Inggris, George Samuel Windsor pada tahun 1850 dalam jurnal of the indian archipelago and eastern asia. Ia mengusulkan dua nama, yaitu Malayunesia dan Indunesia karena kepulauan yang dimaksud menggunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1920, nama Indonesia kemudian diambil oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Masih dalam wikipedia, Bung Hatta menuliskan,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Kedua, ketidakraban secara makna dan emosional secara psikologis memang memiliki dampak pada perilaku. Dalam teori Schachter, kongnitif memiliki kaitan dengan bangkitnya suasana emosionalitas seseorang. Misalnya adalah menggambarkan informasi masa lalu yang telah tersimpan dalam otak dan persepsi untuk memancing munculnya gejolak emosi di saat tertentu di masa yang silam.
Dalam hal ini, nama Indonesia tidak memiliki secara psikologis dalam sejarah lampau masyarakat Indonesia. Ya jelas, nama Indonesia yang memberikan adalah orang asing. Secara makna juga masyarakat kita tidak melekat, karena secara arti juga barangkali orang Indonesia tidak mengetahui makna (arti) nama bangsanya sendiri. Maka, wajar jika disebut nama Indonesia tidak memunculkan gejolak yang berarti. Barangkali, sisi pemuncul rasa emosional adalah karena terdapat proses sejarah bernama deklarasi kemerdekaan. Tidak lebih. Padahal, negeri sudah ada jauh sebelum kemerdekaan diraih.
Hal ini tentu berbeda dengan nama Nusantara. Asal kata Nusantara berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu nusa yang berarti pulau, dan antara yang berarti luar. Selanjutnya, Nusantara digunakan untuk menggambarkan pulau-pulau di luar Majapahit. Napak tilas nama ini adalah sumpah Gajah Mada dalam kitab Pararaton. Dikutip dari http://legendanusantara.wordpress.com, Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
(Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.)
Nama Nusantara Punya Daya Ledak
[caption id="attachment_324983" align="alignnone" width="588" caption="harunjaya33.wordpress.com "]

Dari sini, sudah bisa disimpulkan bahwa nama Nusantara memiliki sejarah emosional yang kuat dalam lubuk dan pikiran masyarakat negeri ini, karena nama Nusantara adalah bahasa ibu. Kita juga tahu bahwa bahasa Sanskerta juga banyak digunakan untuk nama-nama tempat, bangunan dan orang di tanah air. Bukti betapa menyatunya bahasa ini dengan kejiwaan masyarakat tanah air.
Dalam arti kata, ketika disebut kata Nusantara, maka engan seketika semua masyarakat kita pasti akan langsung muncul gambar-gambar para leluhurnya. Ingatan akan para leluhur, tentu saja akan merangsang merebaknya keharuan, kecintaan, dan kerinduan yang amat dalam. Bukan hanya itu, secara seiring ingatan akan leluhur juga akan mengingatkan mereka akan petuah, nilai dan pesan-pesan leluhur-leluhur tersebut.
Penjelasan lebih sederhana akan efek nama ini adalah kasus phobia. Misalnya adalah phobia kucing. Seseorang yang phobia kucing, maka munculnya kucing dapat memunculkan daya takut yang menggelapkan. Ia bisa saja pingsan karenanya. Kucing, pada dasarnya adalah gambaran pengalaman masa yang silam mengenai sosok kucing, di mana ia pernah dicakar hingga berdarah. Rasa takut akan dicakar lantas masuk alam bawah sadar, dan muncul dalam bentuk phobia.
Dalam fenomena percintaan, lagu-lagu tertentu dapat menjadikan suasana riang jadi diselimuti kedukaan, manakala terdengar sebuah lagu yang terputar, yang dulu lagu tersebut pernah bersamaan diputar ketika ia menyaksikan sang kekasih berdua mesra dengan pria lain.
Kesimpulan akhirnya, nama Nusantara memiliki sumbu dengan akar emosional masyarakat, ketimbang nama Indonesia yang tak punya akar secara emosional. Ia mampu merangsang daya ledak kebangsaan, kekeluargaan, dan kesatuan antarsesama yang lahir di tanah yang sama dan leluhur yang sama.
Ingatan akan Kerajaan Sriwijaya. Ingatan akan Kerajaan Majapahit!
Salam berkobar-Kobar ...
[caption id="attachment_324982" align="alignnone" width="470" caption="herrynurdi.com"]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI