Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tobat, Balitaku Kecanduan iPad!

9 Maret 2015   23:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima tahun terakhir, tablet sepertinya sudah jadi ‘piranti wajib’ di tiap keluarga. Mulai dari yang berharga ekonomis sampai keluaran mutakhir pabrik ternama. Bahkan, banyak yang bilang, tablet itu ibaratnya pengasuh anak, guru, dan sekaligus teman bermain. Benar demikian?

[caption id="attachment_401750" align="aligncenter" width="476" caption="Foto: ANP"][/caption]

“Waduh, untung deh sekarang ada gadget beginian. Lumayan bisa ngaso dikit mata dan badanku ngangon anak,” celetuk Rahmi, sahabat karib saya.

Saya bisa mengerti keluhannya. Jangankan balita, saya aja pertama kali lihat tablet terkagum-kagum. Pegang deh itu layar sentuhnya. Ajaib, kan?

Anak rewel di restoran? Kasih aja iPad, ditanggung anteng. Macet dan bosan di mobil? Tinggal putar film kartun kesayangan si kunyil. Mama sibuk siapkan makan malam di dapur? Suruh si kecil main game sebentar bareng kakaknya. Praktis, kan? Enggak perlu cemberut, ngomel, ataupun teriak-teriak.

Sampai umur 40+ begini, seingat saya belum pernah ada mainan yang menakjubkan seperti iPad ini. Bayi baru merangkak pun dijamin senang dengan teknologi relatif baru ini. Lewat jari-jari mungil atau hidungnya, orok-orok itu sanggup memainkan sabak modern ini.

Manfaatnya, sedari awal bocah-bocah mungil itu jadi terbiasa dengan koordinasi mata, tangan, dan telinga. Motorik, bahasa kerennya. Otaknya juga ikutan terlatih. Banyak kok app yang sifatnya edukatif, tapi bejibun juga aplikasi atau game yang penuh kekerasan dan tak senonoh buat anak.

Apalagi, berbagai media memberitakan efek buruk tablet terhadap perkembangan sosial dan emosional anak. Selain itu, konon tablet dapat merusak otak anak. Panik? Kok saya malahan agak skeptis dengan pendapat ini. Layar televisi kalau begitu juga berpengaruh jelek ke otak anak, dong? Pemahaman saya sih, selama nalar tetap dipakai dan tahu batasnya, teknologi tak berefek negatif.

Seorang kolega pernah bercerita, balitanya kecanduan iPad. Anak itu lagi senang-senangnya app semacam Farmville. Jadi, tengah malam pun terpaksa bangun karena mesti menyemai benih, menyiram, dan panen. Si kecil tak tahu lagi batas antara realitas dan virtual. Teror iPad! Ujung-ujungnya, kolega saya menyetop sementara penggunaan iPad di rumahnya.

Kompasianers, kisah di atas mungkin agak-agak ekstrem. Sang ayah akhirnya kompromi, seberapa lama anaknya boleh memakai iPad setiap hari. Ia pun ikutan menemani dan menunjukkan ke anaknya, iPad itu bukan melulu game tapi juga alat untuk mencari informasi. Itung-itung, si ayah sekalian interaksi langsung dengan si anak.

Apa sih keuntungan tablet lainnya? Yang saya amati, anak-anak sekarang lebih cepat tanggap dengan kemajuan teknologi. Bocah-bocah itu lebih kreatif sebab di tablet atau iPad banyak terdapat latihan membuat program-program sederhana buat seumuran mereka. Anggaplah itu investasi berharga buat ketrampilan mereka di masa depan. Enggak kayak saya yang kadang gapteknya tingkat dewa. Hehe…

Namun, tetaplah waspada. Yang namanya perkembangan iptek pastilah ada ekses buruknya. Anda pernah dengar istilah jari WhatsAppitis atau punggung Game Boy?

Selebaran dari kotapraja Amsterdam memperingatkan bahaya kegemukan buat anak-anak yang hobinya nge-game. Enak toh ngulik game sembari ngemil? Di samping itu, balita atau anak-anak lekas terpengaruh dengan iklan. Tahu sendiri dong, advertensi sering mencungul di aplikasi komputer atau tablet. Jangan sampai bocah-bocah itu lebih tertarik dengan situs komersial dibanding pelajaran reguler di sekolahnya.

Akhir kata, permainan tradisional pun sebetulnya belum ketinggalan zaman, kok. Gobak sodor, petak umpet, atau bal-balan malahan bikin anak sedikit gerak sembari kontak langsung dengan kawan-kawannya. Belajar komunikasi dan sosialisasi, biar enggak autis. Canda, lho…

Di bawah ini pedoman singkat mengenai penggunaan media IT ke anak yang saya rangkum dari laman mijnkindonline.nl.


  • Memakai tablet itu rawan jadi kebiasaan. Kebiasaan mudah berubah jadi kecanduan. Kecanduan itu sulit dikikis. Buat konsensus secara tegas dengan anak atau anggota keluarga begitu iPad atau tablet dibeli. Usahakan konsisten.
  • Tetap pasang mata dan telinga. Begitu ada indikasi si anak mulai main game yang tak patut atau terganggu jadwal tidurnya karena tablet, sesuaikan perjanjian yang telah dibuat. Segera hapus app yang Anda anggap tak cocok buat anak.
  • Jangan plin-plan ambil keputusan. Tidak berarti tidak! Temani secara teratur anak Anda saat berkutat dengan iPad.
  • Anda pun harus jadi panutan yang baik. Jangan seharian menenteng smartphone atau iPad di hadapan anak.

Semoga bermanfaat dan salam anti pemadat!

***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun