Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa revolusi besar dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Salah satu inovasi teknologi yang paling berdampak dalam satu dekade terakhir adalah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). AI  secara  umum didefinisikan  sebagai  cabang  ilmu komputer  yang  berfokus  pada  pengembangan sistem  yang  dapat  melakukan  tugas-tugas  yang  biasanya  memerlukan  kecerdasan manusia,  seperti  pemecahan  masalah,  pengenalan  pola,  pemrosesan  bahasa  alami, dan pengambilan keputusan(Russell, S. J., & Norvig, 2016).Sejalan dengan pendapat (Shakya, 2020) Artificial   intelligenceadalah   sebuah mesin   yang   diberikan   kecerdasan   buatan sehingga  dapat  menyelesaikan  tugas  tanpa bantuan  manual.
Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan buatan (AI) adalah teknologi yang memungkinkan mesin atau komputer untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia, seperti berpikir, belajar, mengenali pola, memahami bahasa, dan mengambil keputusan. AI berkembang sebagai hasil kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dan kini berperan penting dalam mendukung berbagai aktivitas manusia, termasuk di bidang pendidikan.
Sejarah perkembangan AI dapat ditelusuri sejak era 1950-an ketika Alan Turing memperkenalkan konsep "mesin yang dapat berpikir" melalui tes Turing, yang menjadi salah satu dasar dalam pengembangan AI modern(Turing, 2009). Pada dekade-dekade berikutnya, AI mengalami berbagai fase perkembangan, termasuk periode optimisme yang tinggi pada tahun 1960-an dan 1970-an, serta fase yang dikenal sebagai "AI winter" ketika pendanaan dan minat terhadap AI mengalami penurunan akibat keterbatasan teknologi dan sumber daya komputasi (Crevier, 1993). Namun, kemajuan dalam algoritma pembelajaran mesin (machine learning), peningkatan kapasitas komputasi, serta ketersediaan data dalam jumlah besar (big data) sejak awal 2000-an telah membawa AI ke era kejayaan baru. Kini, AI telah menjadi bagian integral dari berbagai sektor teknologi, mulai dari industri manufaktur, layanan kesehatan, sistem transportasi, hingga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari seperti asisten virtual dan kendaraan otonom.
Dalam konteks pendidikan, AI hadir sebagai alat yang mampu mengubah cara belajar, mengajar, dan mengelola proses pendidikan secara menyeluruh. Teknologi ini diterapkan dalam berbagai bentuk, seperti sistem adaptive learning, chatbot edukatif, penilaian otomatis, hingga platform pembelajaran berbasis data. Menurut laporan Khrisdigital (2022), nilai pasar global AI di sektor pendidikan mencapai US$ 3,3 miliar pada tahun 2022 dan diperkirakan meningkat menjadi lebih dari US$ 6 miliar pada tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan tahunan lebih dari 40%.
Penerapan AI memberikan berbagai manfaat nyata, seperti personalisasi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa, peningkatan efisiensi kerja guru, serta kemampuan analisis data untuk mendukung pengambilan keputusan pendidikan yang lebih tepat. Misalnya, sistem adaptive learning memungkinkan materi ajar disesuaikan secara otomatis berdasarkan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing siswa, yang terbukti dapat meningkatkan performa akademik dan mengurangi kecemasan belajar (Zawacki-Richter et al., 2019; ScienceDirect, 2023).
Namun, di balik berbagai potensi tersebut, penggunaan AI dalam pendidikan juga menimbulkan sejumlah tantangan dan risiko. Kekhawatiran terhadap plagiarisme, menurunnya interaksi sosial dalam pembelajaran, serta isu privasi dan keamanan data siswa menjadi perhatian penting bagi pendidik dan pembuat kebijakan (Open2Study, 2023). Selain itu, kesenjangan digital antara peserta didik yang memiliki akses teknologi dan yang tidak, turut memperdalam ketimpangan dalam memperoleh kualitas pendidikan yang setara.
Penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam pendidikan telah membawa berbagai transformasi besar dalam proses belajar mengajar. Salah satu dampak paling signifikan adalah peningkatan personalisasi pembelajaran. Teknologi adaptive learning memungkinkan materi pelajaran disesuaikan secara dinamis dengan kebutuhan, gaya belajar, dan kecepatan siswa. Menurut laporan dari UNESCO dan World Economic Forum, penggunaan AI pada sistem pembelajaran adaptif mampu meningkatkan hasil belajar hingga 30--62%, serta mengurangi kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran sebesar 20% (UNESCO, 2021; WEF, 2022).
Selain itu, AI juga memainkan peran penting dalam automasi penilaian. Contohnya, di Australia Selatan, chatbot edukatif bernama EdChat digunakan untuk menilai kemampuan bahasa Inggris siswa migran. Proses yang sebelumnya memakan waktu 30 menit kini dapat diselesaikan hanya dalam 52 detik, yang secara keseluruhan menghemat lebih dari 15.000 jam kerja guru per tahun (ABC News Australia, 2024). Automasi ini memungkinkan guru lebih fokus pada aspek pedagogis dan bimbingan emosional siswa.
Dari sisi pengembangan kebijakan, beberapa negara mulai aktif mengintegrasikan AI ke dalam sistem pendidikan formal. Pemerintah negara bagian Odisha, India, misalnya, menargetkan agar 90% sekolah mengajarkan AI pada tahun 2036, serta melatih sekitar 18.000 warga setiap tahunnya sebagai bagian dari transformasi digital berbasis pendidikan (The Times of India, 2024). Inisiatif serupa juga mulai digagas di berbagai negara berkembang sebagai bagian dari literasi digital.
Namun demikian, tantangan besar juga muncul, terutama terkait dengan integritas akademik. Menurut survei dari Education Week (2023), lebih dari 70% guru menganggap penggunaan AI oleh siswa sebagai bentuk plagiarisme, sementara 68% di antaranya kini menggunakan alat pendeteksi AI seperti Turnitin dan GPTZero untuk mengawasi keaslian karya siswa. Data dari University of Glasgow juga menunjukkan peningkatan jumlah kasus plagiarisme dari 54 menjadi 92 kasus dalam satu tahun akademik setelah mahasiswa mulai banyak menggunakan ChatGPT (BBC News, 2024).
Selain plagiarisme, kekhawatiran lain mencakup isu privasi data siswa, bias algoritma, serta kesenjangan akses terhadap teknologi. Survei oleh Pew Research Center (2023) mencatat bahwa 42% pendidik mengkhawatirkan bagaimana data siswa dikelola oleh sistem AI. Lebih jauh lagi, risiko ketimpangan pendidikan juga mengemuka, karena belum semua sekolah atau wilayah memiliki infrastruktur digital yang memadai untuk menerapkan teknologi ini secara merata (UNESCO, 2022).