Mohon tunggu...
Tahlita Naura
Tahlita Naura Mohon Tunggu... MAHASISWA

TUGAS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Fenomena perceraian pernikahan pasangan muda ditinjau dari sudut pandang BK : Kurangnya edukasi dan emosi yang tidak stabil menjadi penyebab

20 Mei 2025   14:14 Diperbarui: 20 Mei 2025   14:14 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

               Surabaya -- Angka perceraian di Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat, dan yang mencolok adalah mayoritas datang dari pasangan yang masih muda. Data terbaru mengungkapkan bahwa lebih dari 400 ribu perceraian terjadi pada tahun 2024, dengan sekitar 80% di antaranya terjadi dalam lima tahun pertama pernikahan.Kenyataan ini menyoroti maraknya pernikahan pada usia muda. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sekitar 33,76% kaum muda di Indonesia menikah antara usia 19 hingga 21 tahun. Ironisnya, di balik kemeriahan awal kehidupan rumah tangga, terdapat ketidakmatangan emosi, rendahnya keterampilan komunikasi, serta tekanan ekonomi yang sering kali menjadi penyebab timbulnya masalah dalam hubungan.

Dari perspektif Bimbingan dan Konseling (BK), fenomena ini tidak hanya berhubungan dengan dinamika hubungan pribadi, melainkan juga mencerminkan adanya krisis perkembangan individu. "Pasangan muda seringkali masih dalam pencarian jati diri dan belum siap secara emosional maupun psikologis untuk menghadapi komitmen jangka panjang," kata tim mahasiswa Universitas Negeri Surabaya yang melakukan penelitian terkait hal ini.

Faktor tambahan yang juga berperan adalah normalisasi perilaku impulsif dalam berhubungan, terutama yang dipengaruhi oleh media sosial. "Budaya instan yang ada saat ini membuat pasangan muda lebih cenderung untuk menyerah ketika dihadapkan pada konflik," tambah laporan tersebut.

BK Perkembangan menekankan pentingnya konseling sebelum menikah dan pendidikan komunikasi sebagai upaya untuk mempersiapkan pasangan agar memiliki kesiapan emosional dan mental. Pelatihan tentang penyelesaian konflik, pemahaman peran gender dalam rumah tangga, hingga pengelolaan stres dianggap sangat penting.

Dampak dari perceraian dini tidak hanya dirasakan oleh pasangan, tetapi juga memberikan efek yang meluas terhadap anak-anak dan masyarakat. Anak-anak sering kali mengalami masalah emosional, dan stigma sosial bagi pasangan yang bercerai masih memengaruhi. Dari segi ekonomi, perceraian menjadi beban tambahan ketika pasangan masih belum stabil secara finansial.

Melihat urgensi masalah ini, peneliti merekomendasikan adanya pendidikan mengenai pernikahan sejak usia remaja, penguatan peran lembaga seperti BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan), serta evaluasi terhadap UU Perkawinan yang lebih mengutamakan kesiapan pasangan daripada sekadar legalitas.

"Jika dibiarkan, perceraian dini dapat menjadi ancaman bagi stabilitas sosial serta masa depan generasi yang akan datang," tegas laporan tersebut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun