Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Generasi Lem

4 November 2018   00:30 Diperbarui: 4 November 2018   00:42 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini, ketika sedang menanggapi postingan di facebookku, Tabrani Yunis Dua tentang anak-anak SD di Bima, Nusa Tenggara barat (NTB)  yang sedang menikmati sajian dari majalah Anak Cerdas dan majalah POTRET, dalam sebuah tanggapan teman, ia mengirimkan sebuah foto yang mendorongku untuk menulis lagi mala mini.  Padahal, sudah lumayan lama, aku tidak muncul, tidak menulis di Kompasiana, karena banyak alasan. Ternyata, postingan teman tersebut, mampu memantik minat menulis malam ini, walau waktu sudah menunjukan pukul 23.20 WIB. Untuk wilayah Banda Aceh, waktu seperti ini masih banyak orang yang duduk berbincang di warung kopi. Begitulah kehidupan kebanyakan orang Aceh saat ini, yang sebagian waktu mereka habis di warung kopi.

 Kendatipun sudah larut malam dan masih banyak orang di warung kopi, tulisan ini ditulis bukan ingin bercerita soal orang-orang di warung kopi, tetapi ingin bercerita soal realitas social. Soal kehidupan anak-anak, pemilik generasi milenial, atau bahkan pemilik dan pelaku generasi Z. Mereka adalah anak-anak yang harus tumbuh menjadi generasi emas, yang akan menjadi pewaris negeri ini. Namun apa yang terjadi?

 Sebuah foto yang dikirimkan oleh teman, yang merupakan praktisi pendidikan yang bertugas di pedalaman Aceh. Sebuah kampung yang letaknya sekitar 30 kilometer dari kota Bireun, Aceh itu. Sang teman mengirimkan foto yang terlihat ada 11 murid SD yang sedang dilakukan pembinaan. Artinya mereka dipanggil ke ruang guru untuk dinasihati dan dibina, karena ternyata ke sebelas murid SD yang berada di tengah semak, di kaki gunung Goh itu,  yang bisa ditempuh dengan menggunakan kenderaan roda dua itu, selama ini sudah sangat sering melakukan kegiatan yang membahayakan. Anak-anak ini memiliki kebiasan buruk yang bisa membahayakan masa depan mereka. Mereka sudah sangat sering mengisap lem ( ngelem) cap kambing, yang biasa digunakan untuk menempel ban sepeda. Mengisap lem agar mereka bisa fly,  terlena alaias teller,tidak ubahnya seperti orang yang mabuk kepayang.

 Nah, ketika menerima dan melihat kiriman foto tersebut, aku kembali teringat pada apa yang diceritakan sang teman tersebut, saat dalam perjalan mengantarkan bantuan sepeda  kepada sebanyak 10 penerima dari wilayah desa yang terletak di lereng gunung Goh itu. Ya, aku seperti biasa mengantarkan sendiri bantuan tersebut dengan teman di kantor majalah POTRET. Ke 10 anak ini menerima bantuan dari sumbangan para donator lewat program 1000 sepeda dan kursi roda bagi anak-anak yatim, yatim piatu, anak miskin dan disabllitas di Aceh. Dalam perjalanan menuju sekolah yang kami ketahui sebagai SD terpencil dan jauh di pedalaman tersebut, sang teman merespon pertanyaanku. Aku bertanya, bagaimana dengan kehidupan social masyarakat di daerah itu. Pertanyaanku sebenarnya ingin bertanya tentang fenomena narkoba. Namun, sang teman berkata, ada yang parah dengan sejumlah anak, katanya. Ada sejumlah anak yang suka ngelem. Begitu ujar teman tersebut.

 Dengan penuh penasaran, aku bertanya kepada sang teman tersebut perihal ada sejumlah anak yang ngelem. Ia pun menceritakan panjang lebar soal realitas itu. Namun, karena ia masih baru di daerah tersebut, ia tidak berani mengambil tindakan tegas. Ia cendrung sangat hati-hati, agar tidak merusak suasan di sekolah dan masyarakat sekitar. Lalu, cerita sang teman mengenai anak-anak ngelem ini, ingin dengan segera aku tulis, namun sekali lagi, karena banyak hal yang membuat akan tidak sempat menulis. Inilah, mala mini aku memaksakan diri duduk di depan laptop untuk menulis, sembari mengibati rindu menulis di Kompasiana.

 Back to the topic. Cerita teman tentang anak-anak yang suka mengisap lem tersebut, terus terang sangat memprihatinkan dan menggugahku untuk menyuarakan persoalan ini kepada para pihak yang peduli akan nasib anak-anak penerus bangsa ini. Ini adalah masalah generasi bangsa yang harus ada upaya untuk mengeluarkan kebiasaan buruk anak-anak yang sudah terpapar dengan aktivitas mengisap lem tersebut. Apalagi usia mereka masih usia anak SD yang masih di bawah umur. Pasti akan sangat membahayakan masa depan mereka. Bisa-bisa mereka akan tumbuh menjadi remaja yang abnormal atawa gila. Akan kemanakah mereka?

 Kasus-kasus anak-anak yang terpapar dengan lem cap kambing tersebut sebenar bukanlah hal baru. Setahuku sudah berlangsung lama, namun tidak di wilayah desa yang masuk kategori pedalaman seperti kasus di atas. Beberapa tahun lalu, bahkan pasca bencana  tsunami, banyak bermunculan anak-anak yang melakukan kebiasan ngelem tersebut.  Mereka adalah anak-anak gelandangan, yang orang tua mereka juga para pengemis. Mereka konsumsi dalam artian mengisap lem yang membahayakan diri mereka, keluarga, dan masyarakat dan bahkan Negara.

 Oleh sebab itu, bila memang ingin hidup sehat dan bahagia, selayaknya anak-anak tersebut harus bisa  bernyanyi seperti di video. Naik sepeda akan sangat memban dan membuat kita akan sama seperti mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun