Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Play for Peace, Memupuk Damai Anak-Anak Dunia

10 Oktober 2015   00:27 Diperbarui: 10 Oktober 2015   06:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="membangun damai anak-anak dunia"][/caption]

Oleh: Tabrani Yunis

Catatan Perjalanan Ke Trogen, Switzerland Yang tercecer

Waktu itu, Kamis 11 Agustus 2005. Jarum jam tanganku sudah menunjukan pukul 11.00 pagi. Dua orang peserta masing-masing Mulya dan Mutiara yang akan ikut rombinganku terbang ke Switzerland belum juga datang. Kecuali, Debby, Suci, Fitra, Irma, Firna, Hazri, Zulfikar, T.Azriansyah alias Popon, sudah bersamaku. Ya, aku belum melihat Mutiara dan Mulya Aditya datang. Sementara pesawat ke Medan akan take off pada pukul 11.30. Aku merasa sangat gelisah. Kalau mereka terlambat dan tidak bisa berangkat, maka buyarlah perjalanan ini. Aku berupaya menghubungi Mulya ke nomor Flexi yang aku peroleh dari Suci.

Sayangnya, jawaban yang kuterima, malah masuk ke mailbox. Ku coba telepon Mutiara. Lama telpon ku diangkatnya. Aku dengan sedikit gusar berkata. Well, we promised to be on time yesterday. I asked you to be at the air port one hour before the departure. Yes sir, begitu jawab Mutiara. Aku bertanya lagi padanya di mana posisinya. Katanya ia sudah di Lambaro. Wah, kacau. Begitu celetuk ku.

Nah, ketika rasa jengkelku mulai meninggi, aku melihat Mulya bersama keluarganya turun dari taxi Cempala yang berwarna kuning di depan pintu gerbang. Aku memberikan ia tiket, boarding pass dan airport tax dan memintanya segera mengantarkan tasnya ke bagian bagasi. Mutiara, tetap belum datang. Pada hal jarum jam tangan ku sudah menunjukkan pukul 11.20. Aku mencoba menelpon lagi Mutiara. Tapi kesalnya, ia tidak mengangkat panggilanku.

Pada detik-detik terakhir, aku melihat mobil kijang berwarna biru yang dikendarai abangnya Mutiara memasuki halaman bandara. Aku minta Sulis, sahabatku yang ikut mengantar kami ke bandara, memberikan tiket padanya dan aku menuju ke ruang tunggu sambil bersalaman dengan teman-teman dan orang tua anak yang mengantarkan kami ke Bandara. Aku langsung masuk dan memberikan boarding pass kepada petugas yang memotong sebagian boarding pass di depan pintu ke luar ke pesawat.

Di pesawat, aku duduk berdekatan dengan Mutiara. Aku mencoba menikmati perjalanan, walau perutku terasa lapar karena tidak sempat sarapan pagi. Namun, aku merasa tertolong tatkala sang pramugari pesawat Garuda yang bernomor penerbangan 199 menyuguhkan sekotak makanan dan minuman. Akupun menikmati suguhan makanan itu. Lebih kurang 45 menit lamanya, pesawat pun landing di Bandara Polonia, Medan.

Kami turun dari pesawat, menuju bagian Domestic Arrival mengambil bagasi. Aku menelpon Pak Robby staff Swiss Contact. Ia langsung jawab, okay silakan keluar, di sana ada Awi menunggu. Aku mengajak semua anak keluar dan tiba tiba Awi memanggilku. Ku dekati dia dan berdiri sejenak menunggu pak Robby. Tiba-tiba pula petugas dari Family travel Agency datang menghampiri kami, ia membawa kami masuk untuk memasukkan barang ke bagasi dan kemudian kami keluar lagi. Pak Robby membawa kami keluar bandara untuk makan siang. Ia membawa kami ke Sun Plaza. Kami makan di A&W. Kami punya waktu yang sangat terbatas, karena jam 2 kami harus sudah berada di bandara menunggu penerbangan yang membawa kami ke Kuala Lumpur. Kami berangkat pada pukul 15.10

Lebih kurang pukul 16.10 waktu Malaysia, pesawat Malaysia Airline yang kami tumpangi mendarat agak sedikit mulus di Bandara Antar Bangsa (KLIA) Malaysia. Alhamdulilah, ku ucapkan kepada Allah. Aku telah diberikan rahmat untuk menginjakkan kaki lagi di bandara itu, setelah langkahku yang pertama ku injakkan pada tanggal 23 Februari 2005, kala aku transit menuju kota Chennai, Madras India.

Ketika pesawat sudah berhenti dengan sempurna, kami bersama-sama turun menuju ruang ganti pesawat. Kami berjalan dengan agak santai, tidak perlu buru-buru, sebab pesawat yang akan mengantarkan kami ke Zurich akan take off pada pukul 23.30 waktu Malaysia. Melihat waktu cukup panjang, Fitra, Irma, Mutiata dan lain-lain, sibuk berfoto ria. Maklumlah ini adalah sebuah pengalaman yang menarik ke luar negeri. Hazri, yang saat itu masih berstatus siswa kelas XII IPA 8 SMA 3 Banda Aceh itu kelihatan sangat berani. Ia mengejar beberapa pramugari Malaysian Air Service yang sedang keluar ke arah yang sama. Hazri mencegat mereka untuk mengajak berfoto. Lalu, yang lainnya ikut mengejar Hazri untuk berfoto bersama. Bererapa kali blitz kamera bercahaya. Merekapun memperkenalkan diri dan tampak keramah tamahan para awak pesawat itu tatkala mereka bercengkrama.

Usailah foto-foto dengan para pramugari. Beberapa anak yang sangat aktif itu, menuju tandas, sebutan toilet bagi orang Malaysia. Sebagian lain, sibuk berfoto sambil bersuka ria. Dekat desk informasi, seorang gadis Malaysia yang berbadan langsing, berpenampilan cantik dan menarik. Matanya yang begitu indah semakin mempesona, terkena kerdipan kamera yang diarahkan ke wajahnya kala Fitra, Suci dan kawan-kawan mengajaknya berfoto bersama. Ia petugas bandara Malaysia yang senantiasa memberikan pelayanan informasi kepada para penumpang pesawat. Karena kami belum shalat Dhuhur dan Ashar, kamipun menuju mushala untuk melaksanakan shalat satu per satu. Bagi anak-anak yang laki-laki tempatnya di depan dan yang perempuan di bagian belakang yang dibatasi dengan tabir. Kami melakukan salat jamak qasar.

Perasaan terasa lega setelah kewajiban salat dilaksanakan. Aku keluar mushala menuju tempat duduk dan mengambil tas laptop ku. Duduk kembali pada posisi semula. Tiba-tiba saja semua anak minta izin untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu yang cukup lama harus menunggu. Mereka pun pergi. Sementara aku duduk di ruang dekat mushala sambil membuka laptop. Tak lama kemudian karena aku takut baterai laptopku habis, aku menutup laptop itu.

Lebih kurang satu setengah jam lamanya mereka menghilang. Mereka kembali dan bercerita. Sir-sir ! tadikan Sir kami naik tram sir. Lho, kalian pergi kemana ?   Kami ke terminal yang satu lagi sir. Wah, hebat kalian. Tapi kita nanti juga akan ke sana. Kita nanti berangkatnya dari sana. Ooo, kami nggak tahu. Ya, baguslah.

Okay, sekarang sudah waktunya salat magrib. Aku ke mushala dan berwudhu Kalian salat dulu, kataku. Ketika aku usai shalat, anak-anak minta izin padaku. Mereka mau jalan-jalan. “Sir, kami mau jalan-jalan ya. Nanti jam 6.00 kami akan kembali di sini”. Aku izinkan mereka pergi. Sementara aku duduk dan membuka laptop yang ku bawa. Aku mulai mencatat peristiwa-peristiwa menarik yang dialami anak-anak selama perjalanan. Karena takut kehabisan baterai, aku menutup laptopku lagi.

Usai menjalankan ibadah salat magrib, kami berjalan-jalan berkeliling –keliling di bandara, melihat-lihat di sepanjang ruang bandara antara bangsa itu. Lalu, pada pukul 11.30, pesawat take of dan terbang ke bandara Flughafen, Zuirch.

Flughafen Zurich, 12 Agustus 2005

Perjalanan yang panjang dari Kuala Lumpur ke Zurich terlewati ketika pesawat berbadan lebar MH 10 mendarat mulus di bandara Flughafen, Zurich pada pukul 6.30 pagi. Dengan mata yang masih terasa mengantuk, kami turun dari pesawat bersama ratusan penumpang yang datang dan pulang ke Zurich. Seorang lelaki yang berusia kira-kira 40 yang berdiri di belakang ku dengan ramah tiba-tiba menyapa dan berkata pada Suci, siswa SMA Modal Bangsa. Wow, you do not need to wear jacket now in Zurich. It summer now, begitu katanya. Suci menyambut ungkapan itu dengan senyum dan membalasnya. Yeah sir, but for us it is very cool. Where are you going and what will you do here in Zurich, tanya lelaki itu. Secara serentak kami menjawab, we are attending International Youth Camp in Trogen, Switzerland. It will last for 2 weeks.

Karena para penumpang telah berdiri dan menuju keluar, kami pun pamit dengan lelaki itu dan keluar dari pintu pesawat menuju gate E 6, kami menatap keindahan bandara udara Flughafen, Zurich. Anak-anak mengambil kamera masing-masing dan mulai beraksi di depan kamera dengan menggunakan latar keindahan panorama di bandara Zurich itu. Bagai tak pernah puas dan tak pernah habis isi kamera. Mereka terus berfoto ria. Ternyata, hanya kami 12 orang yang berada pada barisan akhir. Aku mengajak semua untuk cepat-cepat dan melihat ke arah papan informasi yang menunjuk arah baggage claim. Jauh juga harus berjalan naik turun. Bahkan kami juga naik trem melewati terowongan. Kami duduk di bagian paling depan, sambil mengambil beberapa foto untuk dokumentasi.

Tram berhenti di gate E-6, kami menuju keluar dan naik melalui escalator ke lantai atas. Sambil berjalan menuju ke arah baggage claim, kami becengkerama seakan tidak pernah ada rasa takut dan khawatir. Lalu mengambil bagasi pada nomor 23 khusus buat penumpang pesawat MAS dengan kode MH 10. Ada yang mengggunakan trolly, ada yang langsung menarik koper masing-masing. Di perjalanan menuju exit door, aku melihat 2 lelaki setengah baya berlari di ruang tunggu. Di tangannya ada selembar kertas bertuliskan “ Indonesia” dengan label “ Play for Peace”. Lelaki itu, bernama Damian Zimmerman. Dia menyambut kami dengan penuh keramahan. “Welcome to Zurich, I am Damian, Nice to meet you”. Kami pun memperkenalkan diri masing-masing. Kami juga berkenalan dengan Isabelle, perempuan yang selalu menjadi contact person aku sewaktu mengurus program ini.

[caption caption="Saat Menonton atletik di Zurich "]

[/caption]

Damian, lelaki yang berambut panjang, dengan tinggi badan 190 cm dan tampak begitu bersahabat, bertanya kepada kami. Apa kalian mau menunggu di sini ? Kita harus menunggu teman-teman dari negera lain. Kita sedang tunggu rombongan dari Afrika Selatan. Mungkin kita akan menunggu selama dua jam, bagaimana ? Saya tawarkan kalian untuk berjalan-jalan berkeliling sekedar window shopping di dalam bandara. Tentu dengan senang hati, tawaran itu kami sambar saja. Soalnya, kami baru kali ini menginjakkan kaki di Eropa. Walau sebenarnya Swiss sendiri tidak masuk dalam kelompok Uni Eropa, ini adalah perjalanan pertama kami ke Eropa. Kami berjalan menuju escalator yang tak jauh dari barang yang kami simpan. Aku tiba-tiba berbalik ke bagasi, seorang lelaki berbadan gemuk dan agak sedikit pendek berkata, Okay Sir, I am not worry, I am watching your baggage. My name Damian too. There are two Damian but we have the different last name. begitu katanya.

Aku kemudian mengejar anak-anak yang sudah meraih lantai dua. Kami berjalan melirik kiri kanan,memperhatikan barang-barang yang dipajang di etalase toko-toko itu. Tak lama kemudian, kami tiba di ruang tungg yang di tempat itu ada susunan batu pahatan yang bagus, juga ada patung boneka. Kami memanfaatkan tempat ini untuk diabadikan dalam foto. Ada yang terkagum-kagum, ada yang dengan ekspresi gembira melenggang mengelilingi toko-toko itu. Apalagi tiba-tiba di veranda ada 2 mainan yang lucu, seperti anjing dan sapi yang bersuara dan bergerak-gerak sendiri. Kelihatannya sangat lucu. Pada Fitra ku katakan, wah, kalau aku masih punya anak, aku akan beli mainan itu. Ya,aku sering membeli mainan buat anak-anak ku, Albar Maulana Yunisa dan Amalina Khairunnisa, ketika mereka masih hidup sebelum bencana tsunami yang melanda Aceh.

Sudahlah sir, kata Fitra. Nanti sir jadi sedih. Mata kami pun tertuju pada hal yang lain. Keinginan membeli sesuatu muncul dalam hati. Tapi kami sendiri belum punya uang Swiss. Di dompet kami yang ada cuma rupiah, ringgit, dolar dan mungkin Euro. Kita perlu tukar uang dulu ya, kataku kepada anak – anak. Nanti kalau kita ingin beli sesuatu, tak punya CHF. Karena itu, aku bertanya pada Damian di mana kami bisa menukar uang. Sejenak Damian tertegun. Okay, lets go down stair, katanya. Kami pun ikut turun ke lantai bawah melewati tangga. Di sudut bagian tengah, tampak sebuah toko mirip kantor travel. Yeah, you can change your money there, kata Damian. There is the moneychanger. Kami pun berjalan menuju outlet yang bernama Travelex, Worldwide money itu. Kecuali Mulya dan Popon, karena mereka harus ke toilet dulu. Firna dan Suci berdiri di depan outlet menukarkan uang mereka, lalu datang yang lain. Aku menukar 100 Euro dan 46 dolar dengan CHF 203.60.

Aku mengambil uang itu dan slip penukaran. Aku memperhatikan slip itu. Ku baca-baca dengan teliti, karena aku takut kalau aku silap. Aku berbalik menuju tempat duduk sembari memperhatikan sejumlah uang yang ku miliki. Aku membaca kertas itu, ku baca Commission Free ! next time order your money online. Di slip itu ditulis juga web site-nya, www.travelex.co.uk. Bahkan kalau mau kirim lewat email juga bisa.karena ada dibubuhkan alamat emailnya. Mau tau ? emailnya : customerservice@travelex.com. Nah, karena kami memang sudah berada di unit 5 Maple Grove Business centre, Lawrance Road, Hounslow, Middlesex,TW4 6DR itu, ya tidak perlu online. Menghitung duit di tangan, terasa sangat sedikit, karena untuk membeli sesuatu di Swiss harganya cukup mahal. Dan aku merasa tidak punya uang cukup untuk itu. Ya, apa yang bisa dibeli dengan uang hanya 200 an itu. Ya, sudahlah.kataku.

Popon dan Mulya yang tadinya mau ke toilet, tampak turun dari lantai 2. Mereka juga mau membeli CHF dengan ringgit yang dibelinya saat di bandara antara bangsa Malaysia. Kami menunggu mereka selesai, Damian pun menjelaskan kami tentang koin dan cara menghitungnya. Dengan bercanda, kami berkata, we want to buy something here. Can we buy many things with this small amount of money? Wow, you can, but not many things. Ha ha. Ia ketawa.

Kami meninggalkan tempat itu menuju pintu keluar tempat kami menyimpan barang-barang. Sambil berjalan-jalan, mata kami terus saja meloloti barang-barang yang dipajang di etalase pertokoan itu . Mata melihat pada harga. Kelihatannya murah, ya hanya 12 Franch Swiss. Tapi, uang kami sangat sedikit. Ah,lupakan soal belanja dulu. Kami rupanya tidak langsung menuju tempat keluar itu, tapi melewati depan pintu check in. Tak jauh dari tempat check ini itu, ada gate masuk ke taman observation. Kami diajak Damian masuk ke tempat itu. Damian pun mencoba masuk, tapi rupanya harus pakai tiket. Lalu Damiane keluar membeli 13 tiket. Kami masuk dengan pemeriksaan yang cukup ketat, semua yang ada di badan berbentuk metal seperti ikat pinggang harus dilepaskan dan dimasukkan dalam keranjang berserta HP dan yang lainnya.

Melewati pintu pemeriksaan, di mulut anak-anak terdengar suara kekaguman melihat indahnya bandara Flughafen Zurich dengan dikelilingi panorama yang sangat indah dan sejuk. Mata kami liar melumati keindahan Zurich. Anak-anak beraksi bagaikan paparozzi yang mengintip setiap fenomena dengan kamera mereka. Pokoknya, memang indah dan serba teratur. Kami punya waktu hanya sedikit, lalu Damian mengajak kami keluar dari tempat itu, kembali ke pintu keluar dekat barang-barang yang kami simpan.

Tiba di tempat penyimpanan barang, para peserta dari Afrika Selatan dan Amerika latin, sudah menunggu. Kami mengambil barang-barang dan keluar sambil membawa satu apel di tangan yang diambil dari keranjang apel disediakan panitia. Kami membawa barang ke luar menuju bus yang diparkir di pinggir bandara. Sopir bus memasukan barang ke bus dan kami satu persatu masuk atau naik ke bus. Fitra dan Irma duduk di seat paling depan. Aku dan Hazri, Zulfikar mengambil posisi paling belakang. Karena di belakang ada seat yang ditata seperti duduk di restoran saja. Di samping kami ada seorang anak Afrika Selatan, Solomon namanya. Damian datang membagikan roti dan air mineral. Ia tidak memberikannya pada anak Afsel, karena tidak termasuk dalam kelompok Damian. Kami mulai memakan makanan Eropa ini di bus yang sedang meninggalkan bandara Flughafen, Zurich menuju Trogen Village. Roti itu terasa nikmat mungkin karena perut mulai terasa lapar.

Dengan mulus bus meluncur di jalan toll menuju Trogen. Melintasi jalan yang dikelilingi panorama yang sangat indah, dihiasi hutan-hutan rakyat yang tertata rapi dengan lahan pertanian dan sapi-sapi sedang merumput, kami meninggalkan Flughafen, bandara Zurich. Diantara kami, ada yang seakan tak puas-puasnya memandang keelokan pemandangan di sepanjang jalan itu. Rasanya, tak sepicing mata pun mata ku terpejam, walau sebenarnya perasaan ngantuk bergantungan di pelupuk mataku. Namun, aku tidak mau melewatkan kesempatan sekali ini menikmati keindahan Swiss.

Perjalanan dari Flughafen ke Pestalozzi Children Village di Trogen memakan waktu lebih kurang 2 jam. Sekitar pukul 10 waktu setempat, kami tiba di Trogen Village. Bus berhenti tepat di depan dapur. Di sebelahnya ada restoran dan Gym. Satu per satu kami menuruni tangga bus. Sopir bus membuka bagasi dan mempersialakan kami mengmabil barang-barang bawaan kami. Damian, lelaki jangkung yang menjadi guide rombongan kami, membawa kami ke rumah nomor 9. Ketika masuk rumah, yang terbuat dari kontruski serba kayu dengan model Eropa ini, kami masing-masing dipersilakan untuk melihat-lihat ruangan. Silakan pilih, kata Damian. Yang penting, satu kamar sesuai dengan bed yang ada. Anda suka yang mana, begitu meminta kami memilih ruang mana yang kami sukai. Untuk kamar yang besar bisa diisi dengan 4 orang peserta.

Udara di luar rumah, bahkan juga di dalam terasa sangat dingin. Padahal, pada bulan Agustus ini, di Swiss lagi musim summer. Namun, suhu udara pada siang hari berada sampai pada 15 derajat Celcius. Kami merasa enggan untuk keluar rumah. Damian, sang pembimbing kami di rumah nomor 9 ini, tidak menyia-nyiakan waktu. Mungkin juga karena ini tanggung jawabnya, ia memanggil beberapa peserta dan supervisor dari Indonesia ke dapur. Di sini, Damian menjelaskan tentang cara-cara penggunakan dapur. Di sini, tampaknya segalanya self service. Mau makan, ingat waktu makan,lalu ambil ke dapur umum. Ingin nyuci, ya silakan gunakan mesin cuci. Mau minum, ya buat sendiri. Tidak ada yang membuat atau melayani. Ya, maklum sajalah dapur orang –orang Eropa.

Opening Ceremony, 13 Agustus 2003

Pagi-pagi,kami telah bangun. Ya tentu saja dibangunkan oleh sejuknya udara pagi di Trogen. Udara di luar rumah tampak sangat dingin. Kabut putih menutupi di seluruh perbukitan Trogen. Usai sarapan pagi yang hanya menikmati roti dengan selai dan segelas susu, kami berjalan ke arah barat untuk menikmati kecerahan. Menatap indahnya panorama desa Trogen pagi itu.

Hari ini, tanggal 13 Agustus 2005 delegasi dari beberapa Negara telah tiba. Hanya saja delegasi dari Plaestina yang belum tiba. Pada hal pada pukul 11.00 waktu setempat, acara pembukaan atau opening ceremony dimulai.

[caption caption="Damian yang menjemput kami di bandara dan menjadi coach selama kegiatan berlangsung"]

[/caption]

Sekitar 2 jam sebelum acara pembukaan dimulai, Damian datang ke rumah nomor 9. rumah yang diberikan nama dengan sebutan Alba. Sebuah kata yang mengenangkan aku pada nama anak ku Albar yang telah pergi ke haribaan Allah pada tanggal 26 Desember 2004 tatkala bencana tsunami menghancurkan sebagian darataan pantai Aceh. Di ruang makan, Damian memberikan pengarahan tentang acara pembukaan. Pada acara pembukaan itu, akan ada acara perkenalan dengan menampilkan wakil dri setiap Negara. Dari Indonesia, kami menunjuk Irma, anak kelas III IPS 1, SMA Negeri 3 Banda Aceh. Irma sangat senang karena ia ditunjuk mewakili 9 temannya yang lain.

Lebih kurang 10 menit sebelum acara pembukaan dimulai, kami berjalan menuju lokasi tempat acara pembukaan. Acara itu ditempakan pada sisi bukit, yang sudah dibuat sebuah panggung dan sejumlah tempat duduk yang panjang. Tiba di tempat acara, kami melihat sudah banyak orang yang datang. Mereka menempati tempat duduk yang telah disediakan. Para tamu berdatangan dari berbagai tempat. Tamu-tamunya adalah orang-orang terkenal. Ada sejejeran nama tenar di Swiss seperti Brigita Gadient, Walter Fust, Beni Thumheer, Bernhard Russi dan lain-lain. Dari Indonesia juga ada. Mereka undangan dari kedutaan Indonesia di Swiss.

Kami bertemu dengan Bu Budi dan kemudian diperkenalkan dengan Marsita. Beliau mengundang kami untuk datang ke kedutaan di kota Bern, untuk merayakan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke 60. Waktu kami masih ada beberapa hari lagi untuk bisa menikmati Swiss saat itu. Perjalanan di Swiss masih belum selesai. Masih banyak yang menarik untuk diceritakan. Aku sangat ingat dengan ungkapan orang Swiss yang dituliskan di kaos. “Everyone loves Switzerland”.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun