Mohon tunggu...
aldi tabrani
aldi tabrani Mohon Tunggu... Lainnya - Allegans contraria non est audiendus

Mahasiswa Hukum Internasional dan Eropa The Hague University di Den Haag, Belanda.

Selanjutnya

Tutup

Politik

ORJU, Orde Indonesia Maju?

31 Mei 2021   10:00 Diperbarui: 31 Mei 2021   10:01 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jerih payah keringat dan pertumpahan darah para pahlawan reformasi seperti dikhianati oleh pemerintah. Ya, ORJU. Itu sebutan yang cocok. Era reformasi telah usai. Reformasi telah dikorupsi. KPK dilemahkan dengan ketua nya yang merupakan pensiuan Polri, kasus Harun Masiku, dll. Jika Susilo Bambang Yudhoyono bisa disebut sebagai bapak demokrasi Indonesia, apa sebutan untuk Joko Widodo? Apa sebutan untuk pemerintahan yang mempreteli kebebasan berpendapat? Masyarakat awam yang buta politik tentunya tidak acuh terhadap hal tersebut. Asal perut mereka kenyang, dan melihat pemandangan dibangunnya jembatan baru, dibangunnya jalan layang baru, dibangunnya moda transportasi baru. Mata menjadi tertutup dan menolak untuk melihat kebenarannya.

Ini seperti saat orde baru, 32 tahun kita dibohongi oleh pembangunan sementara institusi-institusi yang seharusnya menjunjung tinggi Negara Hukum (Rechstaat) diabaikan begitu saja. Indonesia bergerak menjadi negara machstaat (berdasarkan kekuasaan belaka). Namun yang menjadi pembeda saat ini adalah Negara penyokong kabinet Indonesia Maju. Republik Rakyat China sepertinya mendukung habis-habisan Negara yang akan berubah menjadi otoriter dan tidak mempedulikan Hak asasi manusia. Asal dibangun, tetapi doktrin hukum tata negara Indonesia yang seharusnya dijunjung tinggi justru diabaikan. Ini strategi baru China untuk menguasai sphere of influence mereka. Teringat hal ini seperti saat perang dingin, dimana Uni Soviet mendukung habis-habisan negara komunis otoriter untuk melawan Amerika Serikat beserta negara sekutunya. Saya ambil quote Sydney J Harris yang sepertinya terkenal dan sering diucapkan: "history will repeat itself." Artinya "sejarah akan terulang kembali". 

Negara otoriter cenderung akan tumbang seperti bubarnya Uni Soviet serta Yugoslavia dan Negara-negara komunis lainnya. Rezim orde baru sendiripun akhirnya tumbang walaupun harus menunggu 32 tahun lamanya. Namun yang menjadi ancaman nyata saat ini adalah letak geografis Indonesia dan geopolitik ASEAN. 

Indonesia sendiri memiliki zona ekonomi khusus di sekitar laut china selatan yang sering dilanggar oleh Republik Rakyat China. Nine dash-line yang diklaim sepihak oleh Beijing berdasarkan "alasan sejarah" memang konyol. Garis-garis tersebut termasuk area yang secara hukum internasional sah dimiliki oleh Filipina, Vietnam hingga Indonesia. United nations convention on the law of sea atau UNCLOS tidak mengakui alasan historis sebagai landasan untuk klaim territorial.Apalagi, alasan historis tersebut hingga ke masa kekaisaran Han. 

Ini seperti dj vu ketika Bung Karno ingin menguasai Malaysia dan Singapura dengan konfrontasi Malaysia pada tahun 1963-66. Salah satu alasannya karena beliau ingin mendirikan negara Indonesia yang didasari oleh kejayaan kerajaan majapahit. Jika logika ini diterapkan, peta dunia bisa menjadi semrawut atau justru menjadi simple. Karena kebanyakan negara merupakan bekas koloni Eropa, sama saja kembali ke masa kolonialisme. Tapi hal sebaliknya justru terjadi, dekolonialisasi telah berjalan lancar tanpa ada klaim berdasarkan alasan historis seperti yang dilakukan Republik rakyat China di laut China selatan.

Pada tahun 2016, Permanent court of arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda mengeluarkan putusan perihal konflik laut china selatan antara Filipina dan Republik Rakyat China. Walaupun PCA mengeluarkan putusan yang mendukung Filipina, China sendiri memiliki reservasi atau reservation atas UNCLOS. Reservasi sendiri memberikan hak bagi negara untuk menghindari beberapa pasal dalam traktat atau secara keseluruhan. Inilah kesulitan hukum internasional dalam melindungi hak-hak negara yang tertindas. Indonesia harus berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan RRC, karena secara geopolitik bisa berbahaya dan terulang kembali era perang dingin. 

Secara hukum, Indonesia berhak atas zona ekonomi di laut natuna. Perlu diingat, laut china selatan ini sangat kaya akan sumber daya alam. Illegal fishing seringkali terjadi di zona Indonesia maupun zona negara ASEAN lainnya. Putusan PCA Den Haag juga menyatakan bahwa illegal fishing yang dilakukan China dan pembangunan yang merusak alam laut china selatan merupakan tindakan illegal. Klaim historis juga ditolak mentah-mentah oleh PCA. Karena itulah, RRC menggunakan politik "bagi-bagi duit" ke Negara-negara ASEAN agar bisa lebih leluasa di laut china selatan. Padahal secara hukum, mereka salah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun