Mohon tunggu...
Tabita Larasati
Tabita Larasati Mohon Tunggu... Desainer - disainer

suka jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pergeseran yang Harus Kita Waspadai

25 Maret 2022   20:59 Diperbarui: 25 Maret 2022   21:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pada era awal tahun 2000-an saat bom Bali pertama terjadi, banyak orang berpendapat bahwa faham radikal seringkali dibawa oleh orang-orang yang pernah mengecap pendidikan di lingkungan pesantren. Kita ketahui beberapa diantara pelaku bom adalah alumnus pondok pesantren al- Mukmin di Ngruki Solo. Bahkan setelah bom itu meledak dan para pelaku ditangkap dan diadili oleh aparat, pihak keluarganya mendirikan pondok pesantren Al Islam yang berada di Lamongan.

Beberapa alumnus dari pondok pesantren itu kemudian dikenal berhaluan radikal. Banyak diantara mereka yang berangkat ke Suriah karena merasa cita cita ISIS sejalan dengan keinginan mereka untuk hidup di negara dengan syariat Islam. Beberapa diantaranya berangkat ke Poso dan beberapa daerah konflik untuk menyebarkan agama dengan keyakinan mereka. Bahkan ada seorang pemuda dengan nama Wildan adalah pelaku bom pada tahun 2014.

Intinya pada masa itu seseorang selalu terkait dengan sosok atau tempat dimana dia mendapatkan pengajaran radikal. Diyakini bahwa tempat-tempat itu beberapa orang menerima atau terinspirasi faham tertentu. Sederhananya di situ mereka menerima transfer faham radikal.

Pada masa itu, memang ada beberapa pondok pesantren yang dikenal sering mengajarkan faham intoleran kepada santrinya dan kemudian menjadi radikal lalu berkembang lagi menjadi inspirasi tindakan terorisme.

Ada beberapa pihak yang membutuhkan sosok pemberani dalam hidupnya untuk bertindak di luar nyalinya sendiri. Beberapa pemuda kala itu ada yang terinspirasi tiga bersaudara asal Tenggulun Lamongan yaitu Amrozi, Ali Imron dan Ali Gufron. Mereka dianggap inspiratif dalam menegakkan syariat Islam.

Namun kini anggapan itu sudah bergeser. Kaum radikal dan intoleran tidak selalu merupakan alumnus pesantren tertentu. Mereka bahkan tidak membutuhkan sosok heroik yang menginspirasinya menjadi "pengantin". Model transfer ideologi atau faham yang melenceng dari ajaran agama (konvensional) itu bergeser karena ditunjang oleh teknologi.

Dari konvensional ( di pondok tertentu atau bertemu tokoh tertentu) bergeser ke digital melalui internet dan dunia maya. Lalu kemudian media sosial lebih mempermudah lagi. Selain mempermudah, media sosial juga membuatnya lebih besar lagi ( mengamplifikasikan) . Mungkin kita ingat provokasi ISIS melalui media sosial yang sangat dahsyat.

Mereka memberi ilustrasi bahwa mereka akan menghadirkan suasana seperti zaman Nabi Muhammad jika syariat Islam ditegakkan di Suriah. Akibatnya banyak sekali orang dari seluruh dunia termasuk Indonesia yang tertarik ke sana. Dari uraian ini sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa faham radikal kini memang lebih sulit diidentifikasi dibanding masa lalu.

Kini faham radikal bisa dengan mudah diperoleh di YouTube, grup telegram, Instagram dan Facebook. Bahkan banyak contoh memperlihatkan bahwa faham itu bisa dengan mudah diperoleh dan membesar di grup-grup WhatsApp. Karena itu mungkin kita harus waspada melihat gejala ini mungkin di hape anak-anak kita, mungkin di kelompok-kelompok pengajian, mungkin di grup-grup wa dlsb.

Kita juga patut mewaspadai perubahan perilaku mereka yang mungkin saja mengarah ke arah radikal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun