Jepang sedang mengalami pertumbuhan pesat saat Suga pergi ke Tokyo. Pabrik yang berfungsi sebagai lokomotif penggerak ekonomi banyak didirikan, terutama di daerah Tokyo dan sekitarnya.
Pembangunan pabrik ini tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja.
Dalam bahasa Jepang ini biasa disebut shuudan shuushoku. Suga, termasuk dari salah satu yang melakukannya.Â
Dia bekerja di pabrik yang membuat kardus. Namun selama bekerja, pria yang gemar makan panekuk ini mengalami kegalauan, karena belum bisa menemukan apa yang akan dilakukannya dimasa depan.
Setelah pergulatan batin yang panjang selama dua tahun, akhirnya Suga memutuskan untuk kuliah di Universitas Hosei. Dia membayar biaya kuliah dari hasil kerja arubaito (paruh waktu) yang dilakukan siang dan malam.
Meskipun harus menjalani kehidupan keras yaitu kuliah sambil arubaito, ternyata Suga masih punya waktu untuk mengikuti kegiatan karate di universitas dengan tekun.
Buah dari ketekunan tersebut, dari 14 orang anggota klub, hanya dia dan satu orang teman kuliahnya yang berhasil mendapatkan sabuk ni-dan saat duduk di semester akhir.
Setelah lulus, Suga sempat bekerja pada kantor swasta. Namun ini tidak berlangsung lama, karena dia menyadari bahwa segala kegiatan dan keputusan dalam negara, ternyata ditentukan oleh politisi.Â
Inilah yang membuat dia banting setir dari sarari-man (sebutan pekerja kerah putih di Jepang) menjadi politisi.