Mohon tunggu...
Stenly Taaluru
Stenly Taaluru Mohon Tunggu... Arsitek - masih belajar

masih belajar mencerna untuk bercerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pala, Ahli, dan Sebentang Jarak yang Berakhir Kesenjangan

17 Januari 2017   03:22 Diperbarui: 17 Januari 2017   03:38 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://www.wikimanfaat.com

Sudah sejak jaman purba, terdapat hal-hal yang bisa menciptakan perbedaan-perbedaan besar. Dan jarak, juga iklim adalah beberapa diantaranya.

Di Inggris, dan seantero tempat di dunia barat itu pada awal abad 16, pernah harga pala lebih mahal dari emas. Nilainya mencapai 60.000 persen dari harga perkilo yang biasa di jual masyarakat Hindia Timur  kepada para pedagang Eropa yang datang dengan armada-armada kapal semisal kapal Amsterdam pimpinan Cornelis de Houtman dan Red Dragon yang dinahkodai Sir James Lancaster, yang tak hanya untuk memuat bepuluh ribuan kilogram rempah tapi juga dilengkapi dengan meriam-meriam penghacur yang setiap saat siap sedia menganga ke arah musuh atau siapa saja yang tak bisa diajak kompromi.

Di Eropa waktu itu, buah pala – seperti yang ditulis Giles Milton dalam Pulau Run –adalah satu jenis rempah yang memiliki khasiat pengobatan begitu hebat sehingga orang-orang akan mempertaruhkan nyawa mereka untuk memperolehnya,selain kegunaannya sebagai zat pengawet dan perasa bahan makanan. Terpisahnya Hindia Timur  yang berada di katulistiwa– tak hanya oleh hamparan samudera yang luas ganas tapi juga oleh mitos-mitos yang berkisah tentang pulau-pulau penghasil rempah yang dijaga oleh monster – dengan Eropa yang jauh dari matahari ekuator menjadi alasan kenapa tumbuhan Myristica fragrans itu adalah sebuah kemewahan. Perjalanannya yang bahkan bagai sebuah trip menuju neraka juga mendukung alasan kemewahan itu.  Edward Bonaventure, Penelopedan MerchantRoyal , tiga kapal Inggris dalam ekspedisi pencarian rempah-rempah di dunia timur yang dimulai pada musim semi 1591 pada akhirnya pulang dengan hanya menyisahkan 25 orang dan ragam cerita pahit tentang kematian rekan-rekan mereka lantaran penyakit skorbut,diare, dan lain sebagainya.

Dan seperti buah pala di Inggris kala Ratu Elizabeth I berkuasa, ada beberapa hal dalam kehidupan keseharian yang bisa sangat berbeda nilainya. Sebuah perbedaan nilai yang akhirnya merujuk pada sebuah kesenjangan.

Ketika kasus suap reklamasi menyeret seorang legislator – yang sebelumnya telah mendeklarasikan dirinya  menjadi calon wakil gubernur  – muncul  seorang yang nama dan sosoknya datang bak kilat dan guntur. Sunny Tanuwidjaja, seorang staf ahli sang governoor koboiDari pemanggilannya sebagai saksi dalam persidangan kasus suap reklamasi sang legislator, masyarakat tak sulit berkesimpulan bahwa sang ahli punya  peranan tak kecil dalam mempengaruhi keputusan seorang governoor.

 Tugas yang memang menjadi ranah seorang ahli dalam sebuah sistem , termasuk sistem birokrasi dalam sebuah mesin pemerintahan daerah. Dalam sistem itu, para staf ahli adalah bagian yang  tak pasif.  Dalam The Expendables,mereka adalah Jason Statham, Jet Li, Dolph Lungren atau Rendy Couture bagi seorang Sylvester Stallone. Keberhasilan pekerjaan yang diinisiasi seorang  Dominic Toretto dalam Fast Farious tak akan tercapai tanpa karakter Brian O’Connor, Letty, Han, Tej,  Gisele, juga Roman dengan keahlian dan kapabilitasnya masing-masing. Sosok ahli adalah karakter yang aktif. Bukan sosok yang tak punya pergerakkan, diam atau mungkin juga didiamkan.

Tapi inilah dunia kita. Meski menawarkan globalisasi yang jelas-jelas telah menghilangkan batas ragawi, jarak geografis, dan hal-hal mewujud lainnya, dunia hari ini masih juga adalah dunia kemarin yang ramai dengan kesenjangan. Bila kesenjangan geografis berabad-abad kemarin pernah menciptakan perbandingan harga pala Eropa dan Hindia bak bumi dan langit, kesenjangan tempo ini juga berwujud dalam entitas-entitas tak kasat mata yang sering tak perlu keterpisahan fisik-geografis.  Disamping tembok pembatas sebuah kawasan superblok  yang nilainya proyeknya bertriliun rupiah, tak sulit menemukan pemukiman kumuh yang nilai bangunannya bahkan tak melebihi harga sebuah furniture dalam ruang tamu salah seorang penghuni apartemen dalam kawasan superblok tersebut

. Dekatnya Propinsi Banten dengan Ibukota negara dan pusat-pusat perekonomian lainnya tak serta-merta menjadikan daerah di ujung barat ini tingkat kemiskinannya lebih rendah dibanding daerah-daerah terluar lainnya. Dan revolusi tata birokrasi, political will dan semangat membangun daerah yang benar-benar “membangun” yang bisa kita lihat pada beberapa pemimpin daerah di Indonesia – katakanlah oleh Tri Risma, Dedi Mulyadi, Nurdin Abdullah, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, atau mungkin juga Ahok dan beberapa lainnya yang tak “terlihat” media namun terasa oleh masyarakatnya – tak berarti berlaku juga dengan daerah-daerah lain di tanah Indonesia ini. 

Jarak fisik tak lagi menjadi penyebab utama kesenjangan. Di daerah-daerah yang “lain” itu, jabatan staf ahli dalam struktur komando seorang pimpinan daerah adalah Pulau Patmos –sebuah pulau kecil di Laut Aegea tempat Santo Yohanes diasingkan - bagi yang tak satu hati satu suara dengan sang pimpinan. Di sebuah Kabupaten yang umurnya remaja dimana wilayahnya terhampar di samudera Pasifik di utara sana, sebuah jabatan staf ahli mirip seorang anggota SWAT yang dipekerjakan menjadi penjaga gudang senjata, dengan tugas utama membersihkan senjata. Atau mirip seekor singa yang ompong giginya, lagi tak diizinkan mengaum oleh sang pawang. 

Di daerah-daerah yang ”lain” itu, para pimpinan nampaknya tak ingat lagi definisi dari sebuah kosakata yang bernama ahli. Selanjutnya, definisi "staf ahli" mirip perbedaan harga buah pala di Eropa dan Hindia pada abad-abad dahulu - secara de-facto mengalami kesenjangan pemaknaan.  Motivasi memimpin, political will, atau mungkin hati nurani dari masing-masing menjadi faktor pemicunya. Tapi pada ujungnya, disana, di daerah-daerah yang “lain” itu, kita bisa melihat bahwa kebijakan-kebijakan  akhirnya tereduksi hanya dalam batas-batas kalkukasi politik dan kekuasaan semata. sebatas itu semata. 

Tapi apa yang salah dengan politik, juga kekuasaan? Bukankah figur-figur semisal Ridwan Kamil dan Tri Risma juga bicara tentang politik dan kekuasaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun