Biasanya dalam keadaanku yang tidak suka mengikuti kegiatan termasuk les mandarin apalagi dalam pendidikan berteologi.
Tetapi saya mencoba untuk mengikuti  dan lama kelamaan menjadi sadar bahwa ilmu itu berharga dan belajar bahasa itu penting.
Untuk melatih diri menjadi lebih baik dan menghilangkan rasa malas itu mengikuti walaupun tidak ada niat.
Langkah ini cukup unik, biasanya pelajaran asing seperti bahasa mandarin ini lebih umum dijumpai di fakultas seperti bisnis, hubungan internasional, atau sastra.
Namun di STT Ekumene Medan melihat peluang besar di balik keterampilan ini, khususnya dalam pelayanan lintas budaya.
Program le mandarin ini didesain agar relevan dan praktis. Materi yang diajarkan mencakup percakapan sehari hari, pengenalan budaya Tionghoa, serta istilah-istilah yang berkaitan dengan kontek gereja dan pelayanan.
Menurut pihak kampus, tujuan utama dari program ini adalah menyiapkan atau melengkapi mahasiswa dalam berbagai keahlian salah satunya bahasa Mandarin sebagai persiapan pelayanan di tengah tengah masyarakat yang beragam.
Kehadiran bahasa Mandarin ini menjadi bukti bahwa kampus teologi juga bisa bersaing dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
STT Ekumene Medan menunjukkan bahwa pendidikan teologi tidak harus kaku dan terpaku pada pola lama, tetapi bisa terus berkembang dan merespon kebutuhan dunia modern.Â
Di zaman seperti sekarang, pelayanan lintas budaya bukan lagi hal yang jauh. Mahasiswa STT Ekumene Medan punya peluang untuk berdampak bagi masyarakat atrau secara global.