Hari ini, 15 Juni 2025. Setahun sudah berlalu sejak kami berdiri dengan Toga kebesaran, menyebut diri sebagai alumni, dan resmi dilepas dari dekapan hangat Pondok Pesantren Ittihadul Muslimin. Angkatan kami, Revolution Generation 636, bukan hanya sebuah nama. Ia adalah sejarah, luka, tawa, tangis, dan ribuan kenangan yang tertanam dalam bilik-bilik kamar yang kini hanya tinggal sunyi.
Satu tahun berlalu, tapi rasanya belum benar-benar pergi. Masih terngiang gema volksong saat kami yudisium, masih terasa debar saat nama dipanggil satu per satu. Ada haru, ada bangga. Tapi juga ada perpisahan yang diam-diam menyisakan luka. Kami menyebutnya: luka manis---karena meski sakit, kami tak ingin ia benar-benar sembuh. Sebab di dalam lukanya, tersimpan potongan-potongan cerita paling indah yang pernah kami punya.
Kini, kami telah berpencar. Ada yang melanjutkan ke kampus impian, ada yang menekuni jalan dakwah, ada pula yang masih mencari-cari dirinya sendiri di tengah keramaian dunia. Dan aku? Aku hanya mencoba terus berjalan, membawa bekal dari pesantren: ilmu, adab, dan keyakinan bahwa Allah tak pernah tidur mengawasi langkah hamba-Nya.
Tapi jujur saja...
Dunia luar tak sehangat langgar kecil di pagi hari. Tak searoma wangi sajadah yang baru digelar selepas Subuh. Tak sesyahdu suara Qur'an yang saling bersahutan menjelang Maghrib. Dunia luar lebih bising, lebih dingin, dan kadang membuat hati ingin pulang. Tapi tak tahu harus pulang ke mana.
Kadang aku iri pada diriku yang dulu. Diriku yang masih bisa mengaji di bawah lampu seadanya, yang masih bisa mengeluh di hadapan musyrif dengan air mata tanpa malu, yang bisa berbaring di kamar  bersama teman satu perjuangan tanpa takut dinilai. Kini, semuanya berubah. Tak ada lagi sorakan teman kala namaku dipanggil maju. Yang ada hanya layar-layar sunyi dan kesibukan yang menggerus waktu ibadah.
Dan lebih sakit lagi, kadang yang dulu saling menguatkan, kini saling diam. Yang dulu saling curhat saat susah, kini hanya saling scroll di story orang lain. Beginikah realitas setelah perpisahan?
Namun aku tahu, pesantren tak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam caraku membaca doa sebelum tidur. Dalam caraku menundukkan pandangan di jalan. Dalam bisikan hati saat godaan datang. Pesantren itu bukan tempat, tapi nafas. Ia hidup dalam dada-dada kami, dalam jiwa anak-anak Revolution Generation 636 yang tak akan pernah menyerah untuk tetap menjadi baik, meski dunia memaksa jadi biasa-biasa saja.
Wahai kawan seperjuangan,
Di manapun kalian hari ini---ingatlah, kita lahir dari tempat yang sama. Tempat yang menempa kita bukan hanya dengan pelajaran, tapi dengan air mata dan kesabaran. Jangan pernah lupakan nama pondok kita, jangan pernah merasa lelah menjadi orang baik. Karena dunia mungkin bisa menawarkan segalanya, tapi hanya pesantren yang mengajarkan arti "cukup" meski tak punya apa-apa.
Selamat satu tahun setelah yudisium,
Untuk kalian yang tak pernah benar-benar pergi.
Untuk kita---Revolution Generation 636---yang tetap percaya: hijrah itu bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari pengabdian seutuhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI