Mohon tunggu...
Syukri Somad
Syukri Somad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengaturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri

19 Mei 2015   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jembatan Pendestrian dan Menara Gentala Arasy merupakan destinasi terbaru di Provinsi Jambi yang menarik berbagai wisatawan untuk berkunjung sekedar mengisi hari libur atau sebagai lawatan budaya. Benar bahwa Jembatan pendestrian menuju gentala Arasy sebagai Syi’ar bahwa Provinsi Jambi dahulunya kental akan budaya Islam. Mega proyek yang berada tepat di depan Rumah Dinas Gubernur Jambi, Jalan Sultan Thaha, Kecamatan Jambi Timur tersebut seakan memotong Sungai Batanghari dan menghubungkan Kota Jambi dengan Seberang Kota Jambi Kelurahan Arab Melayu, Kecamatan Pelayangan. Beralih dari pulau Sumatera menuju pulau Jawa, terdapat Jembatan Nasional Suramadu yang sesuai dengan namanya sebagai penghubung antara pulau Jawa dan Pulau Madura. Selain penghubung, tentu tujuan lain untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan perekonomian di Pulau Madura.

Tentu menarik jika di telisik sebuah pembangunan mega proyek yang seakan menjadi Icon suatu daerah, terlebih keindahannya di malam hari dengan gemerlap cahaya lampu yang menghiasinya. Sisi sumber dana pembangunan mega proyek merupakan salah sati sisi yang menarik untuk di diskusikan. Jembatan Pendestrian dan Menara Gentala Arasy merupakan salah satu contoh pembangunan yang bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), tepatnya APBD Provinsi Jambi tahun 2012-2014 sebesar Rp. 77 Miliyar sedangkan Pembangunan Jembatan Nasional Suramadu diperoleh dari APBN dan APBD Propinsi Jawa Timur serta APBD Kota Surabaya dan 4 kota di Madura. Pembiayaan pembangunan Suramadu 55% ditanggung pemerintah, sedangkan 45 % sisanya pinjaman dari luar negeri. Dari total biaya pembangunan Suramadu sebesar Rp 4,5 triliun, sekitar Rp 2,1 triliun berasal dari pinjaman luar negeri, tepatnya China.

Dalam hal pembangunan Jembatan yang di prakarsai oleh Pemerintah, menjadi lingkup Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Public Procurement) dan berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang telah mengalami perubahan, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jelas bahwa ruang lingkup pengadaan barang/jasa bersumber kepada APBD/APBN. Lalu bagaimana dengan Pengadaan barang/Jasa yang sumber pendanaannya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri, tentu akan sedikit berbeda karena setiap negara mempunyai aturan nasional tersendiri dan tidak bisa di paksakan aturan setiap negara adalah sama.
Dilanjutkan kembali regulasi dalam Peraturan Presiden tersebut bahwa pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang berasal dari Pinjaman/Hibah Luar negeri sebagai berikut:

Pasal 2 ayat 3:
Ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) berpedoman pada ketentuan Peraturan Presiden ini.

Pasal 2 ayat 4:
Apabila terdapat perbedaan antara Peraturan Presiden ini dengan ketentuan pengadaan barang/jasa yang berlaku bagi pemberi pinjaman/hibah luar negeri, para pihak dapat menyepakati tata cara pengadaan yang akan dipergunakan.

Ketentuan pada pasal 2 ayat 3 dan Pasal 2 ayat 4 saling berkaitan di antara keduanya, terlihat tidak ada regulasi yang khusus mengenai Pengadaan Barang/Jasa yang berasal dari pinjaman hibah luar negeri, sehingga pada prakteknya terdapat berbagai pola-pola yang beragam sesuai dengan kesepakatan dengan negara mitra pembangungan (negara pendonor). Misalnya ketika Indonesia melakukan pinjaman uang kepada Bank Dunia, Sesuai kesepakatan bahwa dalam hal pengadaan barang dan jasa tidak mengacu kepada Peraturan Presiden 54 Tahun 2010 dan perubahannya tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, melainkan mengacu kepada IDB Procurement Guidelines yang merupakan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Akibatnya adalah, Indonesia harus menyampingkan ketentuan hukum Indonesia dan mengacu kepada praktik Internasional yang secara sadar merugikan penyedia barang/jasa yang berasal dari Indonesia karena menggunakan pelelangan Internasional terbatas (International Competitive Binding) kepada negara anggota yang memiliki kualitas terbaik.


Beda tempat meminjam maka akan beda pula ketentuannya, beda mitra pembangunan maka beda pula kesepakatannya. Ini terlihat kepada pembangunan Mass Rapid Transit (Selanjutnya disingkat MRT) yang di perkirakan selesai tahun 2018 sebagai angkutan rel yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara cepat di Jakarta. Diketahui bahwa sumber pendanaan pengadaan barang/jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta didukung oleh Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang harus melakukan negoisasi untuk mencapai kesepakatan yang tertuang dalam Loans Agreement (Perjanjian Pinjaman). Baiknya ketentuan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah Jepang yang tercantum pada JICA Procurement Guidelines tidak menentukan ketentuan mengenai pelelangan Internasioanal, hal ini berarti signal positif bagi penyedia barang/jasa di Indonesia untuk mengikuti berbagai kompetisi pengadaan.

Harmonisasi Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa

Dalam skala Internasional telah adanya upaya dalam capaian keefektifan pinjaman hibah luar negeri melalui Paris Declaration on Aid Effectiveness yang menguntungkan negara-negara berkembang, Demikian ketentuannya karena negara-negara maju sebagai negara mitra pembangunan yang terdiri dari Denmark, Jerman, Perancis, Jepang Korea dan Spanyol menyetujui bahwa peminjaman/hibahluar negeri menggunakan peraturan negara-negara penerima pinjaman yang terdiri dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selanjutnya sebagai bukti nyata dari pemerintah Indonesia dengan negara mitra pembangunan untuk mendukung Paris Declaration adalah dengan menyepakati suatu kesepakatan yang tidak mengikat yakni Jakarta Commitment pada tahun 2009.

Pengadaan barang/jasa yang diupayakan pemerintah Indonesia dalam Jakarta Commitment berupa sistem pengadaan barang/jasa nasional dengan merumuskan kebijakan dan negara pemberi pinjaman harus melakukan harmonisasi (penyelarasan) dengan sistem pengadaan di Indonesia. Dalam kurun waktu singkat pembenahan dan perbaikan peraturan pengadaan barang dan jasa dengan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang secara kompleks mendukung keberpihakan kepada Pengadaan Barang/Jasa dalam negeri dengan menyejahterakan penduduknya. Kendati demikianlah seharusnya yang di amanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Kekurangan dari hukum nasional Indonesia yakni pengadaan barang dan jasa yang dananya bersumber dari pendanaan luar negeri tidak diakomodir mengenai praktik Internasional yang menggunakan pelelangan secara Internasional tetapi mensyaratkan ketika terjadiperbedaan dokumen antara peraturan Indonesia dengan dokumen negara mitra pembangunan dapat dicari cara untuk mencapai kesepakatan mengenai tata cara pengadaan yang akan dipergunakan.Hal ini berarti ketika terjadinya perbedaan dokumen antara keduanya dapat melakukan harmonisasi (penyelarasan) dokumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun