Belum lama dari kejadian kemarin, aku kembali menata diri, lebih focus dan mencoba menempatkan diri sebagai penulis yang sesungguhnya. Beberapa rekan memang tak terlalu memperdulikan ku, tapi semangatku tetap pada jalan ini.
Bukan tanpa alasan aku memutuskan jadi penulis, mengingat beberapa tahun lalu aku mencoba menjadi apa yang aku inginkan tapi tak ku dapatkan. Melelahkan memang mengejar sesuatu yang terus menjauh.
Menulis bukan hal yang buruk, setelah aku terjun ke dalamnya ini adalah dunia yang menyenangkan, alih-alih aku tak bisa menjadi apa yang ku inginkan, dengan menulis aku bisa dengan bebas menempatkan siapa peran utamanya sesuai keinginan ku.
Dalam perjalanan ke perpustakaan, tak jauh dari hadapanku berjalan seorang tunanetra dengan tongkat di tangannya yang menuntun nya, ia berjalan dengan yakin terlihat dari langkah kakinya yang panjang tanpa terseret-seret.
Aku kagum melihat pemandangan ini, aku mempercepat langkah kaki ku agar bisa lebih dekat berjalan di belakangnya. Sesekali tongkatnya mendapati halangan, ia bergeser menghindarinya, wahh... seakan hafal jalan ia memperbaiki arah dengan akurat , penasaran kemana tujuan nya aku terus mengikutinya.
Sampai pada gerbang Universitas, ia mempercepat langkah kakinya, oohh.............. anak kuliahan ?? sepertinya bagus untuk tulisan ku, tapi harus ada pendekatan agar aku bisa menulis kisahnya lebih detail dan nyata.
Aku membiarkannya menjauh, sepertinya ia terburu-buru, aku melanjutkan perjalanan ke perpustakaan, membaca-baca menambah referensi, melihat keadaan sekitar mencari bahan mengarang cerita.
Keluar dari perpustakaan, mataku menemukan sosok yang tadi pagi ku ikuti, waah... sepertinya sudah takdir kami di pertemukan. Aku kembali mengikutinya, menunggu waktu yang tepat untuk menyapanya.
Aku mendekatinya bersiap menyapa, belum juga aku beraksi seorang pengendara motor memanggilnya, nampaknya mereka saling kenal mungkin teman, laki-laki itu pergi membonceng pengendara motor itu.
Ahh..... aku kehilangan kesempatan menyapanya, okeee tidak papa, mungkin nanti atau besok akan bertemu lagi. Deringa nada pesan masuk, dari redaktur majalah menagih cerita yang sudah dua minggu ini belum ku kirim, bukannya belum aku kirim tapi aku belum menulis sebuah cerita untuk di kirim.
Lagipula belum tentu naskah cerita yang ku kirim di muat, biasanya redaktur akan mengkritik tiap tulisanku sebelum memuatnya, atau menggantinya dengan cerita dari penulis lain. Atau lebih parah lagi editor yang mengubah ceritaku hampir lebih dari setengahnya.