Mohon tunggu...
Humaniora

Pancasila, Permata dari Kedalaman Bumi Nusantara

24 November 2017   20:09 Diperbarui: 24 November 2017   20:34 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perbedaan ras, agama, budaya dan bahasa di negeri ini memerlukan perekat yang mampu menyelaraskan itu semua, dan itulah mengapa Pancasila dibutuhkan. Para pendiri bangsa merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dengan penuh kesadaran akan segenap perbedaan. Melalui Pancasila, perbedaan ras, agama, budaya dan bahasa diolah menjadi kekuatan. Di bawah panji-panji Pancasila, semua orang dihormati hak-haknya menjadi setara di dalam keragaman bernama Indonesia.

Bila ada yang menafsirkan Pancasila hanya kompatibel dengan satu agama, ras, atau budaya tertentu saja, besar kemungkinan penafsiran tersebut bersumber dari kesesatan nalar, lahir dari kedangkalan memahami sejarah. Pancasila, sebagaimana dituturkan oleh Presiden Soekarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2011), adalah ilham kebangsaan. Nilai-nilainya ibarat permata yang digali dari kedalaman bumi Nusantara.

Soekarno sendiri tidak pernah mengklaim menciptakan Pancasila. Yudi Latif dalam "Soekarno sebagai Penggali Pancasila" (2013) mengatakan bahwa Pancasila lebih tepat disebut sebagai karya bersama bangsa. Pancasila menggambarkan suatu titik jumpa, ketika semua ragam perbedaan yang memecah belah, bisa ditangguhkan atas nama persatuan Indonesia. Semua elemen bangsa sesungguhnya telah berkontribusi aktif dalam meneguhkan persatuan tersebut, sekaligus memupuk harapan untuk mencapai hidup merdeka, adil dan makmur.

Hutang Keadaban

Harus diingat nama Pancasila itu sendiri adalah warisan kuno leluhur bangsa. I Ketut Rianam dalam Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama (2009) menyebut bahwa nama Pancasila itu ditemukan dalam kitab Ngaraktgama karya Mpu Prapanca. Kitab itu ditulis di masa kejayaan Majapahit. Istilah Paca la tertera di pupuh 43.2. Secara utuh berbunyi, "yatn gegwani paca la kt sangskr bhik krama". Bila dirangkum, pupuh tersebut berkisah tentang sosok agung Ktngara, raja Singhasari terakhir.

Keagungannya itu bersumber pada keteguhannya dalam menjalankan paca la, suatu ajaran tentang lima kaidah laku utama. Laku paca la dikaitkan dengan ajaran subhti. Ini merupakan tarikat kuno yang bersumber pada ajaran Buddha. Menariknya, ajaran subhti telah ada dalam kitab kuno bernama Sang Hyang Kamahynikan. Kitab tersebut ditulis oleh r Sambharasrywaraa pada abad 10 M, pada masa Mataram Kuno di bawah pemerintahan Mpu Sindhok.

Laku paca la sendiri merupakan jalan menuju kemanunggalan dengan Tuhan dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Sejak 1000 tahun yang lalu, laku spiritual seperti inilah yang membuat kerajaan-kerajaan di Nusantara menggapai kejayaan pada zamannya. Pada masa Singhasari dan Majapahit, spiritualitas subhti sesungguhnya lebih menggambarkan sintesis dua agama besar sebagai payung harmoni masyarakat.

Kitab Ngaraktgama sendiri sesungguhnya bercorak spiritualitas Buddha. Meski begitu, mayoritas ahli berpendapat, kitab tersebut lebih menggambarkan suatu sintesis spiritual antara iwa dan Buddha menjadi guruisme. Semangat yang sama persis juga ditemukan dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Intinya, dilacak dari periode yang paling kuno sekalipun, Hindu dan Buddha di Nusantara merupakan ajaran monoteisme.

Inklusivisme Pancasila

Pancasila yang kita miliki hari ini mengakar pada ajaran spiritualitas di masa lalu. Nilai-nilai adiluhung Pancasila tidak sekadar selaras dengan agama-agama awal di Nusantara. Lebih dari itu, bangsa Indonesia secara keseluruhan, sesungguhnya memiliki hutang keadaban pada ajaran-ajaran kuno yang terbukti jauh lebih maju dari yang dibayangkan. Seluruh keadaban kita sebagai bangsa, sejauh dikaitkan dengan Pancasila, hampir semuanya digali dari para leluhur bangsa ini.

Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, misalnya, merupakan sila yang mengakar pada kesadaran religi dan spiritual masyarakat Nusantara. Pada masa lalu, kerajaan-kerajaan diatur oleh ajaran suci ketuhanan. Inilah juga arti harfiah nama ngaraktgama. Para pendiri bangsa telah mencecap kedalaman makna tersebut. Itulah yang menjelaskan makna 'Ketuhanan' dalam sila pertama lebih beriorientasi pada inklusivisme. Ideologi Pancasila memang didesain untuk menampung semua agama/keyakinan yang bertumbuh di bumi Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun