Dalam wacana ketenagakerjaan, buruh kerap dipahami secara sempit sebagai mereka yang terlibat dalam kerja fisik dan produksi industri. Padahal, dalam kerangka yang lebih luas, buruh adalah siapa pun yang menjual tenaga dan waktunya untuk menjalankan fungsi ekonomi dalam sistem yang hierarkis dan birokratis. Dalam konteks ini, guru honorer layak dibicarakan sebagai buruh: ia bekerja di bawah struktur yang tidak memberinya jaminan, tanpa perlindungan yang memadai, dan dengan upah yang kerap tidak sebanding dengan beban kerja serta tanggung jawab sosial yang ia tanggung. Ia bukan hanya agen pembelajaran, tetapi juga subjek dalam relasi kuasa yang timpang, korban dari sistem yang menempatkan pendidikan sebagai beban anggaran, bukan investasi masa depan.
Tiap pagi, ia berdiri di depan kelas, membawa kurikulum yang berubah lebih cepat daripada nasibnya. Ia mengajarkan cita-cita, padahal hidupnya sendiri sekadar bertahan. Di desa-desa dan kota kecil, guru honorer menjadi representasi dari bentuk kerja yang nyaris tak kelihatan, namun menghidupi. Ia menghidupi harapan anak-anak, bukan dengan gaji, tapi dengan kesabaran. Seringkali, kesabaran yang tak digaji.
Michel Foucault pernah mengatakan bahwa kekuasaan modern bekerja lewat institusi. Sekolah adalah salah satu yang paling mapan. Tapi siapa yang paling tidak berdaya di dalamnya? Bukan murid, bukan kepala sekolah, tapi justru guru honorer. Ia bukan pemilik otoritas, bukan pula penerima legitimasi. Ia bekerja dalam diam, dalam struktur yang tak memikirkannya sebagai subjek historis. Ia mengabdi tanpa diakui sebagai pekerja penuh, dan dalam banyak kasus, bahkan tak dianggap sebagai pegawai negara. Dalam sistem meritokrasi semu, ia menjadi bukti bahwa kerja keras tidak selalu membawa pengakuan.
Dan di sinilah absurditas itu menetap: guru honorer mengajarkan nilai, tapi tidak menerima nilai dari sistem. Ia menanam pohon, tapi tak punya tempat berteduh. Ia memberi makna pada pendidikan, tapi hidupnya sendiri tak sempat dimaknai. Dalam peringatan Hari Buruh, kita diingatkan bahwa ada bentuk kerja yang luput dari sorotan, meski ia menyangga peradaban: kerja intelektual yang tak diberi tempat, kerja sunyi yang tak diberi suara.
Barangkali sudah waktunya kita berhenti menyebut mereka "pahlawan tanpa tanda jasa"---karena kata "pahlawan" justru telah lama dijadikan alasan untuk membiarkan mereka hidup dalam ketidakadilan. Pahlawan tidak butuh pujian, ia butuh kepastian. Butuh pengakuan bahwa ia adalah buruh---yang tak menjual otot, tapi menyumbang masa depan.
Tapi negara, seringkali, tidak memiliki kepekaan terhadap yang sunyi. Yang tidak berteriak tidak didengar. Yang tidak mogok tidak dihitung. Maka guru honorer tetap berada di baris paling belakang dalam narasi pembangunan. Ia tak cukup revolusioner untuk dianggap ancaman, dan terlalu jinak untuk disorot media. Ia hanya hadir, setiap hari, mengisi absen dan hati murid-muridnya.
Simone Weil, seorang filsuf sekaligus buruh pabrik, menulis bahwa "perhatian adalah bentuk tertinggi dari kemurahan hati." Dan barangkali itulah yang ditawarkan guru honorer kepada dunia: perhatian. Ia mengingat anak-anak yang duduk di bangku paling belakang, yang lambat membaca, yang pelupa, yang pendiam. Ia merawat masa depan dengan tenaga yang makin tipis. Tapi ia tetap memperhatikan. Dalam sistem yang menyingkirkan, ia memilih tetap hadir.
Maka barangkali Hari Buruh kali ini bukan tentang orasi. Tapi tentang ruang guru yang pengap. Tentang nasi bungkus yang dibawa dari rumah. Tentang sepatu usang, dan suara serak yang mengajar tanpa mikrofon. Tentang honor yang tidak seberapa, tapi tetap tidak membuat mereka berhenti menulis RPP dan mengecek PR.
Hari ini, mari kita ubah cara kita merayakan buruh. Tidak cukup dengan parade, tidak cukup dengan baliho. Tapi dengan perhatian yang konkret, dan kebijakan yang adil. Dengan pengakuan bahwa guru honorer bukanlah relawan abadi. Ia adalah pekerja. Ia adalah buruh. Dan seperti semua buruh, ia berhak hidup dengan layak, tidak sekadar dihargai, tapi dihormati.
Karena dalam negara yang betul-betul waras, mereka yang membangun pikiran bangsa harusnya tidak terus-menerus dihukum oleh kelalaian negara. Mereka tidak perlu lagi menunduk diam.