Filsafat Yunani Kuno merupakan akar dari pemikiran rasional di dunia Barat. Ia tumbuh dalam konteks sosial, politik, dan budaya masyarakat Yunani kuno yang bertransformasi dari sistem kepercayaan mitologis ke pendekatan rasional. Perkembangannya terbagi ke dalam tiga periode utama: pra-Sokratik, klasik, dan Helenistik, masing-masing menghadirkan kontribusi signifikan terhadap sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan.
Periode Pra-Sokratik: Dari Mitos ke Rasio
Periode ini dimulai pada abad ke-6 SM, ditandai dengan munculnya para filsuf yang mencoba menjelaskan asal-muasal alam semesta (kosmos) melalui akal, bukan mitos. Tokoh pertama yang sering dianggap sebagai filsuf adalah Thales dari Miletos. Ia berpendapat bahwa air adalah unsur dasar dari segala sesuatu. Pandangannya bersifat revolusioner karena memisahkan antara penjelasan mitologis dan penalaran logis.
Anaximander mengembangkan gagasan bahwa prinsip pertama adalah apeiron(sebuah unsur tak terbatas dan abadi). Ia meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari apeiron dan akan kembali kepadanya . Sementara itu, Anaximenes, murid Anaximander, menyatakan bahwa udara adalah arkhe dari segala sesuatu. Ia menjelaskan transformasi unsur melalui proses pemekatan dan pengenceran.Disisi lain, Herakleitos memperkenalkan konsep bahwa perubahan adalah hakikat utama realitas. Ia berkata, "semua mengalir" (panta rhei), dan bahwa api merupakan simbol dari perubahan yang konstan. Kontras dengan itu, Parmenides mengklaim bahwa perubahan hanyalah ilusi. Ia menyatakan bahwa "yang ada" itu tetap, abadi, dan tak berubah. Zeno, murid Parmenides, mendukung pandangan ini dengan paradoks-paradoks terkenal yang meragukan keberadaan gerak dan pluralitas.Pandangan-pandangan para filsuf pra-Sokratik membuka jalan bagi penyelidikan ilmiah terhadap alam, meletakkan dasar bagi fisika, kosmologi, dan logika modern.
Periode Klasik: Manusia sebagai Pusat
Periode klasik ditandai dengan pergeseran fokus dari alam ke manusia. Sokrates (469--399 SM) menjadi simbol utama dari perubahan ini. Ia tidak menulis karya sendiri, namun dikenal melalui karya muridnya, Plato. Sokrates menggunakan metode dialektika atau elenchus, yaitu tanya jawab untuk menguji definisi dan keyakinan moral. Ia menyatakan bahwa hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani .
Plato mengembangkan teori Forms (bentuk-bentuk ideal) yang menyatakan bahwa dunia fisik hanyalah bayangan dari realitas sejati yang bersifat ideal dan abadi. Dalam Republik, Plato merancang konsep negara ideal yang dipimpin oleh filsuf raja yang mampu memahami kebaikan secara utuh. Ia juga mendirikan Akademia, sekolah filsafat pertama di dunia Barat.Aristoteles, murid Plato, menolak dualisme Plato dan mengedepankan observasi serta logika sebagai dasar pengetahuan. Ia menulis tentang logika, biologi, etika, dan politik. Dalam Etika Nikomakea, ia mengenalkan konsep eudaimonia (kebahagiaan) sebagai tujuan akhir hidup manusia. Menurutnya, kebajikan adalah kebiasaan memilih jalan tengah antara dua ekstrem. Dalam politik, ia menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politikon) yang hanya dapat berkembang dalam kehidupan bernegara.
Periode Helenistik: Filsafat Sebagai Gaya Hidup
Setelah kematian Alexander Agung dan munculnya kekacauan politik, filsafat Helenistik mengalihkan fokus pada pencapaian kebahagiaan personal. Filsafat menjadi semacam terapi jiwa.Stoisisme, yang diajarkan oleh Zeno dari Citium, menekankan hidup selaras dengan alam dan mengendalikan emosi. Stoik mengajarkan konsep apatheia, yaitu ketenangan batin yang bebas dari gejolak perasaan. Epikureanisme, dipelopori oleh Epikuros, berpendapat bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi, tetapi bukan berarti hedonisme. Epikuros membedakan kenikmatan intelektual dari kenikmatan fisik, dan lebih mengutamakan kebebasan dari rasa takut dan sakit. Sementara itu, Skeptisisme yang dikembangkan oleh Pyrrho dari Elis menyatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang benar-benar pasti. Oleh karena itu, sikap terbaik adalah epoche menangguhkan penilaian agar tercapai ketenangan batin (ataraxia).