Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Pemelajar

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

MBG, Keracunan, dan Jalan Pulang ke Pangan Lokal

3 Oktober 2025   07:04 Diperbarui: 3 Oktober 2025   07:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa MBG Harus Pulang ke Dapur Nusantara?

"Gratis tak cukup, MBG butuh jaminan aman, sehat, dan berpihak pada pangan lokal."

Pernahkah kita membayangkan suasana makan siang di sekolah? Anak-anak duduk berjejeran rapi, seragam putih-biru mereka sudah sedikit kusam karena bermain di halaman sekolah. Riang gembira bercampur dengan keluhan lapar dan rasa haus yang melanda. Begitu "food tray" atau "ompreng" makanan dibagikan, mereka menyantapnya dengan sukacita, tanpa sedikit pun curiga bahwa makanan yang tampak biasa itu bisa berubah menjadi ancaman nyata.

Beginilah yang terjadi 4 bulan lalu di SMP Negeri 8 kota Kupang. Sebanyak 84 siswa harus dilarikan ke rumah sakit setelah keracunan makanan yang dibagikan di sekolah. Peristiwa ini membuat para orang tua panik, guru terkejut, dan publik bertanya-tanya: bagaimana mungkin program yang seharusnya menyehatkan justru membuat anak-anak tumbang? Apakah kita masih bisa percaya bahwa makanan gratis otomatis aman untuk dikonsumsi?

Kasus di kota Kupang dan provinsi atau daerah lainnya seolah menjadi alarm keras bagi program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tujuannya mulia, ingin menekan angka stunting dan menjamin anak-anak belajar dalam keadaan kenyang. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa gratis tidak otomatis sehat, niat baik tidak selalu berakhir baik bila pengawasan diabaikan, dan lemahnya kontrol mutu, atau minimnya akuntabilitas penyedia layanan. Pertanyaannya, apakah MBG benar-benar disiapkan sebagai strategi jangka panjang, atau hanya sekadar proyek politik untuk menuai tepuk tangan?

Mengapa Kita Terlalu Bergantung pada Nasi

Di balik maraknya kasus pelaporan keracunan ini, ada pertanyaan lebih dalam tentang isi piring anak-anak Indonesia. Selama puluhan tahun, kita menjadikan nasi sebagai satu-satunya sumber karbohidrat utama. Data BPS 2023 mencatat konsumsi beras nasional mencapai 96 kilogram per kapita per tahun. Angka ini membuat beras seakan tak tergantikan, bahkan di daerah-daerah di mana padi bukan tanaman utama sekalipun untuk makanan pokok masyarakat sehari-hari.

"Jagung, kelor, ubi, sagu: kunci gizi Nusantara yang seharusnya hadir di meja sekolah."

Padahal, jagung, ubi, singkong, dan sagu sudah lama menjadi pangan pokok di banyak wilayah di negeri ini. Mereka lahir dari kearifan lokal, dari tanah yang tidak ramah bagi padi, tetapi mampu menghidupi masyarakat setempat. Sayangnya, dalam program nasional, makanan lokal ini sering dianggap nomor dua sebagai hidangan utama. Mengapa kita begitu takut jika di piring anak-anak tidak ada nasi? Bukankah makanan sehat tidak harus seragam, melainkan sesuai dengan kekayaan alam setiap daerah?

Pangan Lokal NTT dan Potensi yang Terabaikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun