Mohon tunggu...
Syarif Perdana Putra
Syarif Perdana Putra Mohon Tunggu... Fresh Graduate at Institut Bisnis Nusantara

Content Writer Enthusiast | Maka Sesungguhnya Bersama Kesulitan Ada Kemudahan dan Sesungguhnya Bersama Kesulitan Ada Kemudahan |

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kalau AI Bisa Jadi Guru, Apa Masih Perlu Sekolah ?

17 September 2025   12:00 Diperbarui: 16 September 2025   17:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar seseorang sedang mengetik dibantu lengan buatan AI (pexels.com/@Shvetsa)

Meski AI sangat canggih, ada hal-hal yang tidak mungkin digantikan. Salah satunya adalah interaksi sosial,  di sekolah anak-anak belajar bergaul, bekerja sama, dan menghadapi konflik. Semua itu adalah bekal hidup yang tidak bisa diajarkan oleh aplikasi. Sekolah juga menjadi tempat pembentukan karakter. Nilai seperti kejujuran, empati, dan rasa tanggung jawab lahir dari pengalaman nyata bersama orang lain. AI mungkin bisa mengajarkan teori moral, tetapi hanya lingkungan sosial yang bisa menguji dan menanamkan nilai itu.

Guru pun punya peran sebagai role model. Anak-anak sering meniru sikap guru mereka, mulai dari cara berbicara, berpikir, hingga menghadapi masalah. AI tidak bisa memberikan teladan nyata yang menyentuh hati. Selain itu, sekolah menyediakan pengalaman belajar yang kontekstual. Misalnya, kegiatan ekstrakurikuler, diskusi kelompok, hingga proyek sosial. Semua itu membangun keterampilan yang tidak bisa dipelajari hanya lewat layar digital.

Emosi juga bagian penting dari pendidikan. Seorang murid yang sedang patah semangat butuh motivasi langsung dari guru atau teman. AI tidak punya empati sejati, hanya algoritma. Rasa didengar, dipahami, dan dihargai tetap hanya bisa diberikan oleh manusia. Dengan kata lain, AI memang bisa jadi guru pintar, tapi sekolah adalah tempat menjadi manusia. Keduanya harus berjalan berdampingan, bukan saling menggantikan.

Ilustrasi gambar pria bermain catur dengan AI (pexels.com/@Pavel Danilyuk)
Ilustrasi gambar pria bermain catur dengan AI (pexels.com/@Pavel Danilyuk)

4. Masa Depan Pendidikan Kolaboratif 

Masa depan pendidikan tampaknya akan mengarah pada kolaborasi antara sekolah, guru, dan teknologi AI. Sekolah tidak lagi hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi pusat pengembangan keterampilan hidup. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi mentor, pembimbing, dan fasilitator. AI akan menjadi mitra yang membantu guru dan siswa. Kecerdasan buatan ini bisa mengurus aspek teknis, seperti menjelaskan materi atau memberikan latihan tambahan, sementara guru fokus pada membangun karakter dan soft skill. Dengan begitu, peran manusia dalam pendidikan tetap utama.

Model pembelajaran hybrid atau campuran juga akan semakin populer. Siswa belajar materi dasar lewat AI di rumah, lalu mendiskusikannya di sekolah dengan guru dan teman. Metode ini membuat proses belajar lebih efektif dan interaktif. Sekolah pun akan bertransformasi menjadi ruang kreatif. Bukan lagi tempat duduk diam mendengarkan ceramah, melainkan laboratorium kehidupan di mana siswa belajar praktik nyata. AI hanya mendukung, tetapi pengalaman hidup tetap ada di sekolah.

Tentu, tantangan akan selalu ada. Mulai dari kesenjangan akses teknologi hingga risiko penyalahgunaan data. Namun, dengan regulasi yang tepat dan kerja sama semua pihak, pendidikan berbasis kolaborasi bisa membawa manfaat besar. Masa depan bukan soal memilih AI atau sekolah, melainkan bagaimana keduanya bisa saling melengkapi. Pendidikan sejati lahir dari sinergi antara teknologi dan nilai kemanusiaan.

Ilustrasi gambar robot ai (pexels.com/@Kindelmedia)
Ilustrasi gambar robot ai (pexels.com/@Kindelmedia)

AI Guru Pintar, Sekolah Guru Kehidupan 

Pertanyaan “kalau AI bisa jadi guru, apa masih perlu sekolah ?” tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak. AI memang punya banyak kelebihan, tetapi sekolah tetap punya peran yang tak tergantikan. Keduanya hadir dengan fungsi berbeda yang sama-sama penting. AI memberi akses belajar yang cepat, personal, dan efisien. Sementara sekolah menjadi tempat menanamkan nilai, interaksi sosial, dan pembentukan karakter. Tanpa sekolah, pendidikan akan kering dari makna kemanusiaan. Tanpa AI, pendidikan bisa tertinggal dari kemajuan zaman.

Maka jawabannya bukan memilih salah satu, tetapi memadukan keduanya. Sekolah harus beradaptasi dengan teknologi, sementara AI diarahkan agar tetap mendukung nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan masa depan adalah kolaborasi, bukan kompetisi. Kita semua perlu siap menghadapi perubahan ini. Orang tua, guru, siswa, bahkan pembuat kebijakan harus bekerja sama agar pendidikan lebih relevan dan adil. Sehingga pada akhirnya, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar menghasilkan jawaban cepat.

Sekolah bukan sekadar bangunan, melainkan ruang tumbuh bersama. AI bukan sekadar algoritma, melainkan alat bantu untuk memperluas wawasan. Keduanya bisa bersinergi agar generasi mendatang lebih siap menghadapi dunia yang terus berubah. Tambahan pentingnya, kita juga harus sadar bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Keberhasilan pendidikan tetap ditentukan oleh bagaimana manusia menggunakannya. Jika AI hanya dipandang sebagai pengganti, maka pendidikan akan kehilangan ruh. Tapi jika AI digunakan sebagai mitra, maka pendidikan bisa melahirkan generasi cerdas sekaligus berkarakter kuat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun