Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah "Masa Lalu"

9 September 2020   06:10 Diperbarui: 9 September 2020   06:29 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu malam di sebuah angkringan di selatan kota Jogja, saya duduk bersama kawan menikmati nasi kucing dan beberapa potong gorengan, cakar ayam dan hangatnya wedang jahe tumbuk. Satu hukum wajib ngangkring adalah ngobrol. Kawan saya mulai bercerita. Ada dua kawannya tadi siang datang dan bercerita. Jadi ini adalah cerita kawan saya berdasarkan cerita kawannya.

Mereka berdua cerita tentang masa lalunya yang kelam. Tentang kebiasaan berkelahi, sampai pada suatu saat orang yang dihajar hampir mati karenanya, dan juga dengan menunjukkan beberapa luka bekas bacokan senjata di perut dan pundaknya. Tentang kebiasaan mereka mabuk dan kemudian bikin onar di perkampungan. Tentang hobi judi mereka yang hampir-hampir mereka kena garuk aparat karenanya. Masih banyak lagi kebiasaan mereka di masa lalu yang begitu hitam.

Saya mendengarkan sambil menikmati cakar ayam yang gurih. Kemudian kawan saya melanjutkan bahwa sekarang mereka sudah jadi orang baik-baik, dan tidak lagi melakukan itu semua. "Tetapi ada satu yang saya sayangkan." Kata kawan saya sambil meraih segelas jahe hangat. Bukan hal berhentinya mereka dari berbagai kebiasaan buruk yang dia sesalkan, melainkan cara mereka bercerita kepadanya. 

"Tahukah kau bagai mana mereka bercerita. Itu bukan seperti cerita seorang hamba Tuhan yang datang di depan altar dan mengakui dengan kerendahan dan penuh sesal atas kesalahannya. Mereka itu seperti sedang menceritakan proses penciptaan gol dalam pertandingan bola yang berhasil dimenangkan."

Saya tetap hanya mendengarkan sambil menghisap sebatang kretek yang berasap. Kawan saya melanjutkan. "Saat mereka selesai dengan demontrasi masa lalunya itu, lalu mereka tanya sama saya. Kalau kau dulu punya cerita apa Brow?" Saya kemudian pasang badan, dan siap mendengar cerita masala lalu kawan saya itu. Siapa tahu menarik untuk bikin cerita. Benar saja, sejenak kemudian setelah menyulut kretek dan menghisapnya beberapa kali dia melanjutkan.

"Terus terang saya tidak tahu apa yang harus saya ceritakan waktu itu. Jelaslah kalau saya tidak memiliki pengalaman semenarik mereka. Saya hidup ditengah-tengah orang yang memiliki satu ketaatan luar biasa pada hukum adat dan praktek-praktek keagamaan." Ternyata saya tidak salah duga, kawan saya itu memang orang yang baik dari sononya. Sehingga mungkin hanya sedikit sekali dosa yang sudah bikin selama hidupnya sampai sekarang.

"Tapi yang bikin saya agak jengkel, mereka menasehati saya begini. Pengalaman seperti itu penting Brow, sebagai warna hidup." Saya sedikit kaget karena nada suara kawan saya agak meninggi. "Pada dasarnya saya tidak bermasalah dengan masa lalu mereka, toh, sekarang sudah tidak lagi. Tapi nasehatnya yang sesat itu memaksa saya menceramahi mereka." Sejenak kemudian dia melanjutkan. 

"Tahukah kalian tentang Umar? Tidak? Dia adalah salah seorang sahabat nabi yang memiliki masa lalu begitu hitam, bahkan pernah menguburkan anak perempuannya sendiri hidup-hidup. Namun karena hidayah Allah kemudian dia masuk Islam dan menjadi salah seorang yang kelak dijamin masuk Sorga. Umar itu, orang yang sangat tegas dan garang, sehingga dijuluki singa padang pasir. Tapi kalau malam dia begitu cengeng, selalu menangis dalam salat malam dan doanya, karena selalu teringat dengan masa lalunya yang begitu hitam. Dia benar-benar menyesal. Dan ketika ada seseorang yang mengingatkan dia akan masa lalunya, dia akan selalu jatuh tertunduk begitu malu."

"Kalian bilang pengalaman seperti itu penting? Penting apanya. Bersyukurlah kalian itu sekarang sudah tidak lagi melakukan itu semua. Karena lebih banyak lagi yang tidak mendapat kesempatan berpisah dengan masa lalunya itu, yang sampai sekarang masih begitu asik dengan kedurjanaan." 

Saya manggut-manggut membayangkan wajah dua orang di hadapan kawan saya waktu itu. "Dan sekarang kalian bercerita kepada saya dengan begitu bangganya akan semua itu? Apa yang kalian banggakan itu?! Sampah!!" 

Syarif_Enha@PelemWulung, 08 Pebruari 2012

*pernah dipublikasikan dalam Bulletin Mocopat Syafaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun