Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bunuh Diri Bukan Karena Miskin!

5 Juni 2020   05:38 Diperbarui: 5 Juni 2020   05:35 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di daerah Banyumas, seorang anak lulusan SMP memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di kamar mandi dengan tali jemuran. Dalam deret berita, berita ini hanya salah satu dari masalah yang disampaikan. Ada banyak lagi peristiwa yang mungkin memiliki kualitas yang lebih mengenaskan. Tetapi berita ini begitu menarik karena peristiwa itu terjadi dalam lingkup keluarga yang masing-masing kita terlibat di dalamnya. Bisa saja kita adalah seorang ibu, ayah atau saudara dari seorang anak yang begitu rantan akan perubahan dan tekanan keadaan.

Pertanyaan umum yang kemudian umum muncul atas peristiwa adalah terkait sebab mengapa peristiwa itu sampai bisa terjadi. Dan jawaban yang diberikan media sementara adalah karena si anak tidak diperkenankan melanjutkan sekolah, harus mennggu satu tahun bergantian dengan kakaknya yang sudah kelas tiga SMU. Keterbatasan ekonomi lagi-lagi menjadi alasan. Lazim. Begitu kesan yang secara umum diterimakan, bahwa kemiskinan sangat mungkin menjadi alasan yang mendasari di anak untuk mengakhiri hidupnya. Selesai, tidak perlu merepotkan lagi orang lain dalam hidupnya. Begitu mungkin yang tersirat dalam pikirannya. Berapa kira-kira umur anak itu? 14 tahun. Dalam umur yang begitu muda, dia sudah dihadapkan pada begitu berat masalah, tentu saja dalam ukuran seorang muda, masalah kelanjutan hidup dan masa depan adalah segala-galanya.

Apakah kemiskinan benar-benar sebab yang menjadi pemicu keputusan nekad itu? Berapa sebenarnya statistik warga negara miskin di negeri ini? Jika ada 30% saja, maka dapat kita bayangkan berapa kita harus bersiap-siap dengan angka kematian yang tidak wajar itu? Bukankah dahulu kita temukan bahwa kehidupan lebih berat dibanding sekarang. Keterbatasan tidak hanya pada keberadaan sandang papan saja, namun untuk kebutuhan pangan yang pokok pun sangat terbatas. Mengapa statistik bunuh diri tidak sedahsyat saat ini?

Terkait dengan peristiwa di atas, ada sebab yang tersembunyi, yang sangat bersifat pribadi, psikologis. Ada ketidakmampuan menerima kenyataan yang berbeda dari aras idelaita dalam dirinya. Ada mental yang begitu lemah dan mudah patah ketika bersentuhan dengan sedikit saja masalah. Ada keterasingan yang tidak tersentuh sehingga menggumpal menjadi masalah yang bertumpuk dan terpendam. Tidak adanya perhatian dari keluarga yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman untuk menampung keluh kesahnya. Selain itu semua, cecaran media yang menampilkan begitu rupa gebyar impian-impian surga, yang terasa begitu jauh dan mustahil dia peroleh, semakin menyudutkannya dalam pojok ruang gelap yang tak tersentuh dan terperhatikan, sama sekali.

Ada bagitu banyak kemungkinan yang muncul dari sebab-sebab seorang anak belia mengakhiri hidupnya. Satu sebab akan melahirkan sebab yang lebih dalam dan lebih jauh dalam lagi. Jadi ketika media dengan ringan saja menyatakan kemiskinan lagi-lagi menjadi biang sebab bunuh diri, perlu dikaji lebih jauh.

Tentu kita berharap itu tidak hanya menjadi sebatas berita, namun juga mampu untuk dijadikan bahan kajian bersama dalam rangka menyelamatkan generasi muda masa depan yang kuat dan tahan terhadap tekanan. Sudah saatnya kita tidak saja bilang "mesakne" tetapi kita coba hadir dan menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Tidak mungkin kita menjadi super hero yang siap menyelamatkan umat manusia dari berbagai kejahatan, tetapi setidaknya masing-masing kita bisa melakukan sedikit hal untuk keluarga kita, agar jauh dari ketersesatan pikir dan kelemahan mental serta sekian deret penyakit jiwa. Jangan sampai anak-anak kita tumbuh dengan mental kaca. Rentan pecah dengan sedikit saja tekanan. Karena hidup kita ke depan, tampaknya akan semakin "keras". (Syarif_Enha@Winong, 25 Sept, 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun