Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beda Bakat Pegiat Taman Bacaan vs Aktivis Media Sosial?

16 Desember 2022   08:47 Diperbarui: 16 Desember 2022   09:15 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Bakat orang memang beda-beda ya. Ada yang bisa menulis, ada yang berbakat main musik. Ada juga yang bakatnya mengurus taman bacaan. Bakat atau keahlian ya tentu ada yang positif ada yang negatif juga. Namanya juga bakat, terserah orangnya.

Di era media sosial kayak sekarang. Bakat banyak orang makin terkuak. Ada yang jago tik-tokan. Ada yang bikin tempat ngopi hingga bikin konten medsos. Bagus banget bakatnya. Tapi ada juga yang bakatnya kepo atau menebar kebencian. Ada juga yang terampil ngoceh sambil menghakimi orang lain. Belum lagi yang ahli soal menyalahkan orang lain, mengumbar aib, hingga gibah. Jelek banget bakatnya.

Sejatinya, bakat itu tidak berdiri sendiri. Bakat juga butuh ilmu dan harus diimbangi moral pula. Agar bisa mengukur bakatnya mau di bawa ke mana? Apa guna bakat yang dimilikinya? Untuk menjadikan keadaan lebih baik atau nggak.

Seperti di taman bacaan. Bakat juga bisa tersalurkan. Ada yang bakatnya baca buku. Ada yang bakatnya membimbing anak-anak yang membaca. Bahkan ada pula yang berbakat main games atau memotivasi anak-anak untuk terus sekolah dan membaca. Tapi yang pasti, bakat sulit untuk berkembang bila tidak dilakukan atau dibiasakan. Seperti Lionel Messi bakatnya makin kinclong karena fokus latihan dan bertanding sepak bola. Messi pasti tidak mengurusi yang lain. Hanya latihan dan tanding, maka bakatnya makin menggila.

Bakat itu bukan apa-apa. Bila tidak diasah dan dibiasakan. Bakat juga percuma bila tidak ada r"ruang bersama" untuk menyalurkannya. Seperti itulah yang saya alami di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Saat suatu kali, beberapa ibu meminta untuk bisa belajar melek huruf Al Qur'an. Maka saya pun mengiyakan. Dan kini tiap malam Minggu ba'da Isya kaum ibu di taman bacaan pun belajar melek Al Qur'an. Yah baru sebulan, dimulai dari Iqra dulu lalu juz amma. Setelah itu, biarkan mereka melancarkan ya sendiri.

Mengajar, bisa jadi bakat saya. Tapi apalah arti mengajar bila tidak ada yang diajar. Begitu pula taman bacaan, apakah arti buku-buku tanpa ada anak-anak yang membacanya. Maka bakat siapapun memang harus "dipertemukan" dengan audiens-nya. Kata orang pintar, bakat pasti dimiliki semua orang. Tapi tidak semua orang mau dan berani menemukan dan melatih bakatnya sendiri.

Terkadang, bakat tidak cukup diimbangi oleh kerja keras. Tapi bakat butuh komitmen dan konsistensi dalam menjalankannya. Bakat memang murah. Tapi dedikasi terhadap bakat itu yang mahal.

Jadi bakat Anda apa dong? Itulah beda bakat pegiat taman bacaan vs Aktivis Media sosial.Salam literasi #TamanBacaan #GeberBura #TBMLenteraPustaka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun