Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Hari Buku Sedunia, Jangan Benci yang Tidak Perlu Dibenci

23 April 2020   10:26 Diperbarui: 23 April 2020   10:41 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah "pengakuan" di Hari Buku Sedunia, hari ini 23 April 2020. Persis jelang 1 Ramadhan 1441 H, bulan puasa. Bulannya kaum muslim untuk menahan diri, memperbanyak ibadah.

Pengakuan, bisa jadi hal yang paling langka di dunia ini. Hari-hari belakangan ini.

Sebuah keberanian, bagi siapapun, untuk mengaku atau mengakui. Mengaku tentang apa saja. Tentang cara atau perbuatan untuk mengaku, dalam hal apapun. Sesuatu yang harus diakui, megakui realitas yang terjadi. Sebut saja sebuah pengakuan.

Siapapun, harus mengakui. Hingga hari ini tidak kurang dari 568 hoaks atau kabar bohong terkait Covid-19 telah beredar. Covid-19 bukan dicegah atau disembuhkan. Tapi di-eksplor jadi bahan kebohongan. 1 dari 2 orang Indonesia pun kini punya akses terhadap internet. 

Tapi sayang, tradisi bacanya tidak lebih dari 1 jam sehari. Sementara berselancar di dunia maya bisa 5,5 jam sehari. PSBB akibat wabah virus corona Covid-19 pun sudah diterapkan. Tapi keramaian dan lalu-lalang masih ada di jalanan, di tempat nongkrong. Mudik sudah dilarang tapi pemudik terus mengalir. Hingga semua bingung, gimana kita seharusnya sebagai bangsa? Sungguh, semua itu harus diakui. Sebuah pengakuan yang harus diakui.

Sebuah pengakuan lagi.

Hari ini #DiRumahAja tapi hati galau, pikiran bete. Persis seperti orang yang puyeng tapi berlagak tenang. Iya, seperti orang gak punya duit tapi bergaya selangit. Seperti kaum jomblo yang sibuk ingin berduaan. Seperti orang serius kuliah tapi pas ditanya tidak tahu apa-apa. Orang-orang yang merasa peduli. Tapi tidak berbuat apa-apa, tidak pernah terjun ke lapangan untuk peduli. Ibarat "orang yag memegang buku tapi tidak pernah dibacanya". Realitas itu harus diakui, sebuah pengakuan.

Sebuah pengakuan. Entah, kenapa sulit sih untuk mengakui kekurangan dalam diri? Kenapa harus sulit meminta maaf bila terjadi kesalahan? Dan kenapa pula harus membenci pada orang yang tidak seharusnya dibenci? Tanya kenapa? Itu sebuah pengakuan.

Suatu kali. Ada orang-orang pintar ngobrol di kedai kopi. Orang-orang hebat ngobrol bareng. Lalu, mereka bilang gini "Kenapa ya, bangsa Indonesia yang kaya raya gini kok penduduknya masih banyak yang miskin?" 

Buat saya, itu obrolan orang keder. Karena mereka yang ngobrol, lalu mereka yang tanya pula. Tapi anehnya, tidak ada yang bisa menjawab. Padahal jawabannya sederhana. Karena mereka tidak mau mengakui bahwa mereka itu tidak bisa ngapa-ngapain. Mereka yang banyak bicara tapi sangat sedikit berbuat.

Maka mumpung mau puasa. Harus diakui, momen pengakua telah tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun