Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Sebab Taman Bacaan "Mati" di Indonesia

17 Maret 2020   23:09 Diperbarui: 17 Maret 2020   23:13 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri ini sekarang, bisa jadi kedai kopi atau tempat nongrong lebih ramai daripada taman bacaan. Kenapa? Kata mereka pengagum kedai kopi, karena kedai kopi lebih asyik daripada tempat baca. Ahh, yang benar? Orang kalau malas baca emang ada saja alasannya.

Faktanya, memang begitu. Karena mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Indonesia sungguh tidak mudah. Maka wajar, tidak sedikit taman bacaan masyarakat yang seakan "mati suri". Kurang diminati seakan "hidup segan mati tak mau". 

Taman bacaan di negeri ini seolah "ada tapi tiada". Apalagi di zaman now, taman bacaan pasti tergilas oleh era digital, era serba instan yang makin menjauhkan orang dari tradisi baca.

Jadi jelas, memang kedai kopi atau tempat nongkrong pasti lebih diminati daripada taman bacaan. Di manapun. Bila begitu, lalu siapa yang harus peduli terhadap eksistensi taman bacaan masyarakat?

Setidaknya ada  3 (tiga) sebab taman bacaan "mati" di Indonesia. Yaitu 1) karena ada buku tapi tidak ada anak, 2) karena ada anak tapi tidak ada buku, dan 3) karena komitmen pengelola taman bacaan yang "setengah hati" ibarat "anget-anget tai ayam" istilahnya. 

Wajar bila taman bacaan mati, taman bacaan kurang diminati. Apalagi sifatnya yang sosial, sangat tergantung kepedulian orang lain. Baik untuk donasi buku, biaya operasional, atau lainnya. Sementara di luar sana, katanya, mari tegakkan terus tradisi baca dan budaya literasi anak-anak kita.

Maka, harus ada cara yang beda dalam mengelola taman bacaan. Taman bacaan di manapun, harus lebih kreatif dan inovatif dalam mengelola taman bacaan. Agar tidak monoton dan tidak membosankan.

Sebut saja, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka yang saya dirikan di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kab. Bogor di Kaki Gunung Salak. Sejak didirikan 3 tahun lalu, kini setidaknya ada 60 anak usia sekolah yang aktif membaca buku. 

Secara rutin, seminggu 3 kali anak-anak ke taman bacaan. Bahkan bisa "melahap" 5-8 buku per minggu habis dibaca. Semua itu berjalan lancer berkat model "TBM Edutainment" yang saya terapkan. Sebuah cara tata kelola taman bacaan yang memadukan konsep edukasi dan entertainmet.

TBM Edutainment, intinya cara mengelola taman bacaan yang unik dan kreatif. Agar anak-anak tidak bosan berada di taman bacaan. 

Model TBM Edutainment bertumpu pada ciri-ciri seperti: 1) ada salam literasi, 2) ada doa literasi, 3) ada senam literasi tiap kali mau membaca, 4) membaca bersuara tidak boleh dalam hati, 5) ada laboratorium baca seminggu sekali untuk melatih pemahaman dan motivasi baca, 6) ada event bulanan dengan mendatangkan tamu dari luar, dan 7) ada jajanan kampung gratis tiap bulan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun