Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaum "Ngalor Ngidul" di Era Digital, Segala Hal Dikomentari

17 Januari 2020   07:41 Diperbarui: 17 Januari 2020   10:09 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu hobby orang pintar sekarang. Mungkin, doyan "ngalor ngidul". Ngomong atau ngobrol tapi ngalor ngidul. Berbicara tentang segala hal. Apa saja dikomentari. Seolah-olah sudah ahlinya, seperti tahu banyak segala hal.

Istilah 'ngalor ngidul' tidak ada hubungannya dengan laut kidul. Ngalor ngidul, segala kejadian diomongin. Banjir diomongin, Jiwasraya dikomentarin, keraton agung sejagat dibahas. Segala arah mata angin pun bisa dibicarakan. Sebut saja, kaum ngalor ngidul.

Dulu, setahu saya yang suka ngalor ngidul itu. Mereka yang gemar ngongkrong di warung kopi. Atau tukang ronda alias kaum begadangan. Tapi zaman now, ngalor ngidul sudah jadi hobby. Apalagi pegiat media sosial, bisa jadi juara ngalor ngidul. Sesuatu yang sudah jelek makin dijelek-jelekin, Sesuatu yang bagus pun dijelek-jelekin. Sing ngalor ya ngalor, sing ngidul ya ngidul.

Saking doyan ngalor ngidul.

Orang zaman now, makin jauh dari realitas. Harapan kian bertentangan dengan kenyataan. Omongannya bertolak belakang dengan perilakunya. Komentarnya justru berselisih dengan kebiasaannya. Namanya "ngalor ngidul".

Ada benarnya ungkapan "manusia butuh waktu dua tahun untuk belajar bicara, tetapi butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk belajar diam". Biar tidak ngalor ngidul. Apalagi di media sosial. Semua orang terlalu gampang komentar tentang apapun. Biar semuanya viral, biar kawannya banyak yang komentarin. Hingga akhirnya, berita yang tidak benar alias bohong pun disebar-luaskan. Terdorong untuk segera men-sharing berita, sambil bertanya "ini benar gak ya?".

Komentar atau omongan yang dibangun bukan atas ilmu dan keahlian. Maka wajar, akhirnya makin gaduh makin keruh suasananya. Komentar yang negatif, bikin dampak lebih buruk dan jauh dari solusi. Kaum ngalor ngidul.

Kaum ngalor ngidul itu sudah hilang sifat hati-hatinya. Gagal menahan diri bahkan gemar memperkeruh suasana. Mereka lupa, terlalu banya bicara itu justru bisa mengeraskan hati. Lupa, bahwa lisan bisa berbuah petaka atau syarat masuk neraka. 

Kaum ngalor ngidul lupa. Berita benar yang berdampak negatif saja tidak boleh asal-asalan menyebarluaskan ke publik. Karena apapun, harus dipertimbangkan baik buruknya; harus cek maslahat atau mudarat.

Ngalor ngidul, memang tidak butuh orang kaya atau miskin. Orang pintar atau bodoh. Bahkan membuat rancu antara orang salah atau benar. Karena yang penting, kaum ngalor ngidul harus bicara, wajib komentar. Biar tenar, biar kesohor sekalipun tekor.

Maka jangan sampai hidup larut dalam ngalor ngidul. Karena bagusnya dunia itu justru ketika terpisah antara yang bagus dan jelek. Sebaliknya jeleknya dunia itu saat kita mencampur-adukkan antara bagus dan jelek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun