Mohon tunggu...
Syarief Basir MBA
Syarief Basir MBA Mohon Tunggu... Pemerhati sosial dan praktisi audit

Menyukai menulis dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyalahgunaan Wewenang Memantik Apatisme Publik

22 April 2025   17:16 Diperbarui: 22 April 2025   17:16 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah sekian lama masyarakat Indonesia akrab dengan pemberitaan mengenai penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi pelindung, pelayan, dan penegak keadilan. Ironisnya, kini peristiwa semacam itu tidak lagi memantik keterkejutan. Yang justru terasa ganjil adalah ketika tidak ada kabar mengenai penyimpangan kekuasaan dalam kurun waktu tertentu. Situasi ini menggambarkan betapa masyarakat telah mengalami penurunan sensitivitas akibat eksposur terus-menerus terhadap penyimpangan yang serupa dan berulang.

Kasus-kasus terbaru kembali memperkuat ironi tersebut. Tiga hakim PN Surabaya sedang dituntut di Pengadilan Tipikor atas dugaan suap putusan demi membebaskan terdakwa Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian kekasihnya. Di Pacitan, seorang oknum anggota Polres berpangkat Aiptu memperkosa tahanan wanita. Di Serang, dua anggota TNI diduga menganiaya warga hingga tewas. Ketiga kasus ini---yang sejatinya menyangkut nyawa, martabat, dan keadilan---justru dianggap sebagai kabar "biasa" oleh masyarakat. Ini bukan karena publik menyetujui perilaku menyimpang tersebut, melainkan karena telah terlalu sering terjadi dan tak kunjung ada akhirnya.

Fenomena semacam ini banyak diperbincangkan dalam ruang-ruang interaksi sosial masyarakat---warung kopi, pasar, lingkungan kerja, bahkan media sosial. Masyarakat memang belum berhenti mengungkapkan kekesalan dan ketidakpuasan. Namun, dalam waktu yang bersamaan, muncul kesadaran bahwa keluhan tersebut tidak berdampak nyata. Terbentuklah sikap skeptis kolektif: bahwa kasus semacam ini akan terus terjadi dan tak akan ada perubahan berarti. Lebih parah lagi, sebagian masyarakat mulai menganggapnya sebagai bagian wajar dari realitas hidup di negara ini.

Persoalan penyalahgunaan wewenang yang terus berulang ini bukanlah hasil dari kesalahan individu semata. Ia adalah buah dari sistem yang telah lama bermasalah. Kita tidak dapat membicarakan pengkhianatan terhadap amanah publik tanpa menyinggung tentang siapa yang diberikan wewenang, dan bagaimana mereka mendapatkannya.

Benar bahwa terdapat pejabat publik yang memiliki kompetensi tinggi, rekam jejak yang bersih, serta dedikasi terhadap tugas. Namun, sayangnya, mereka adalah segelintir dari kelompok elite yang lebih besar dan kompleks. Banyak pejabat justru menduduki posisinya bukan karena integritas dan prestasi, melainkan karena relasi personal, praktik transaksional, atau bahkan rekayasa administratif. Fenomena "membeli" jabatan, memperoleh ijazah tanpa proses belajar yang wajar, hingga mengejar gelar akademik dengan cara-cara tidak etis sudah menjadi rahasia umum. Disertasi yang ditulis oleh pihak ketiga, penelitian fiktif, dan manipulasi publikasi ilmiah menjadi pola yang makin mengakar, bahkan di kalangan pejabat tinggi.

Kondisi ini tidak lepas dari wajah pendidikan nasional kita. Sejak dari jenjang paling dasar, banyak lembaga pendidikan tidak menjalankan fungsinya secara ideal. Proses pembelajaran lebih berorientasi pada pencapaian angka dan kelulusan daripada pembentukan karakter dan kebijaksanaan. Sering kali, peserta didik didorong untuk mengejar ijazah semata, sementara substansi ilmu dan nilai-nilai kejujuran ditinggalkan.

Kondisi ini diperburuk dengan kebijakan pendidikan yang cenderung inkonsisten. Kurikulum berganti-ganti mengikuti perubahan kepemimpinan, bukan hasil kajian jangka panjang yang berlandaskan kebutuhan riil masyarakat. Ketika dunia pendidikan gagal menjadi fondasi pembentukan integritas, maka tidak mengherankan jika dunia birokrasi dan politik pun diisi oleh aktor-aktor yang rapuh secara etika.

Pejabat publik yang tidak berintegritas, ketika memegang kuasa, akan menggunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi. Lebih buruk lagi, tindakan semacam ini memberikan preseden bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ketika pelanggaran tidak dihukum secara adil, atau bahkan dilindungi oleh sistem, maka penyimpangan akan dianggap sebagai hal lumrah. Siklus ini terus bergulir, menciptakan efek domino dalam berbagai lini pemerintahan dan lembaga publik.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat mulai kehilangan harapan. Apatisme yang tumbuh bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan ekspresi dari kelelahan kolektif yang berkepanjangan. Mereka yang awalnya bersemangat memperjuangkan keadilan kini memilih diam karena merasa perjuangannya sia-sia. Apabila sikap ini dibiarkan terus berkembang, maka bangsa ini sedang berjalan menuju lorong gelap yang semakin pekat: lorong di mana kejujuran menjadi barang langka, dan kebobrokan justru menjadi norma.
Lantas, masih mungkinkah mengatasi persoalan serius ini?

Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak sederhana. Namun demikian, harapan tetap ada, selama ada keberanian untuk menata ulang sistem dari akarnya. Reformasi tidak bisa hanya dilakukan pada permukaan. Kita perlu perombakan menyeluruh dalam rekrutmen pejabat publik, penataan sistem pendidikan, penguatan lembaga pengawasan, serta pembentukan budaya antikorupsi yang benar-benar membumi, bukan sekadar jargon.

Pendidikan harus kembali pada ruhnya: membentuk manusia yang utuh, cakap secara intelektual dan matang secara moral. Seleksi jabatan publik harus didasarkan pada meritokrasi yang transparan dan adil. Sistem hukum harus berdiri tegak, tidak tunduk pada kekuasaan, serta memberikan efek jera pada pelaku penyalahgunaan wewenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun