Uniknya, ketika Jokowi jadi presiden sejak 2014, etnik Banjar tak lagi direken. Padahal etnik Banjar ini tak hanya menjadi penghuni bumi di Kalsel, melainkan banyak yang bermigrasi dan turun temurun di Kalteng, dan Kaltim, bahkan juga di Kalbar dan Kaltara.Â
Memang, jika dihitung keseluruhan penghuni bumi Kalimantan, yang kini terdiri dari 5 (lima) provinsi, jumlahnya masih jauh ketimbang penduduk Jatim yang cuma satu provinsi. Atau dengan Jateng, apalagi Jabar. Padahal penduduk dan luas wilayah bumi Kalimantan jauh lebih besar ketimbang Timor Leste yang sudah merdeka, atau Brunei Darussalam yang dimerdekakan Inggris.
Kalangan anak muda, akademisi dan aktivis lainnya kini mulai muncul umpatan negatif terhadap rezim ini, yang seolah tak peduli dengan suara-suara yang berseleweran dibawa angin sepoi. Jokowi nampaknya sudah merasa aman dengan bergabungnya Partai Gerindra, sehingga dengan mudah meninggalkan kelompok-kelompok yang katanya berdarah-darah saat pilpres. Kita tak tahu apa yang ada di benak Oesman Sapta Oedang (OSO), tokoh Kalbar terkemuka di Betawi.Â
Untuk kebajikan, kita berharap "gengsi tanah Banjar" ini bisa manfaat untuk memajukan daya saing warga dan daerah. Bukan gerakan destruktif yang bisa mengganggu stabilitas. Bahwa belakangan ada Wakil Menteri etnik Dayak, ini sangat menggembirakan. Masalahnya kenapa cuma wakil? Bukan menteri, seperti daerah lain.Â
Berseminya  rasa "gengsi banua" ini patut diapresiasi. Jokowi patut diberi bonus. Ia berhasil membangunkannya. Langkah berikutnya, tinggal aktor banua. Apakah "gengsi banua banjar" yang kini mengeliat harus dipupuk sehingga bisa membesar, atau dibiarkan saja tenggelam oleh kebakaran asap hutan. Semuanya kembali pada stakeholders terkait. Â