Mohon tunggu...
Syam Sumarlin
Syam Sumarlin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Anak manusia yang berusaha meningkatkan produktifitas hidupnya. Menjadikan buku dan pena sebagai sahabat. Selamat menuliskan sejarah hidupmu kawan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PKL Segel Indomart, Alfa Midi, Era Mart, Salah Siapa?

20 Februari 2014   02:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto dokumentasi pribadi) Dalam dua hari berturut-turut (Kamis-Jumat 7/2), pedagang kaki lima (PKL) yang tergabung dalam forum persatuan saudagar (FPS) Samarinda, melakukan aksi penyegelan dan penutupan sejumlah swalayan modern seperti Indomart, Alfa Midi, Era Mart, di Samarinda. Penyegelan dan penutupan tersebut merupakan respon PKL yang menolak keberadaan swalayan modern, yang mulai menjamur di Samarinda. PKL menuding, kehadiran swalayan ini mematikan usaha mereka. Berdasarkan pengakuan para PKL yang entah berdasarkan apa, sudah ada sekitar 600 PKL yang terpaksa gulung tikar sejak swalayan itu beroperasi. “Mau kami kasih makan apa anak dan keluarga kami kalau usaha kami terpaksa tutup karena berdampingan dengan Era Mart,” celetuk salah seorang demonstran saat itu. Kehadiran swalayan modern memang cukup meresahkan para PKL di kota ini. Bagaimana tidak, hanya dalam hitungan bulan mereka sudah memenuhi di setiap persimpangan dan jalan utama dalam kota. Bagaikan jamur yang tumbuh subur di musim hujan, swalayan ini ada dimana-mana. Konon kabarnya, untuk Samarinda sendiri ditargetkan berdiri 500 swalayan modern. Dalih yang juga kerap dilontarkan PKL ketika menyuarakan penolakan itu, karena banyak swalayan dibuka sebelum mengantongi izin usaha atau izin prinsip. Setelah dikonfirmasi, ternyata benar banyak izin swalayan belum terbit. Alasan mereka, karena masih dalam proses pengurusan. Saya melihat, gejala sosial tersebut muncul karena ketidak tegasan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda. Seharusnya usaha yang tidak berizin tidak dibiarkan beroperasi. Selain itu, sistem pengawasan yang lemah membuat pengusaha dengan mudah membuka usaha tanpa harus membayar pajak (karena pajak sudah disetor kepada oknum pejabat di Pemkot). Adanya setoran tak tertulis (upeti) itulah yang membuat baik swalayan modern maupun PKL itu sendiri bebas berdiri dimana-mana. Namun menurut saya, bukan soal ada atau tidaknya izin swalayan tersebut. Karena kalau hal itu yang dipermasalahkan, maka pertanyaan itu juga harus dikembalikan ke PKL. Apakah PKL juga sudah mengantongi izin usaha. Dijamin 100 persen jawabannya, tidak satupun PKL yang mengantongi izin atau bahkan sekedar pemberitahuan kepada ketua RT sekitar, bahwa mereka mendirikan bangunan untuk keperluan usaha. Bahkan yang lebih parah, PKL justru kerap melanggar aturan dan tidak mendukung progam Pemkot Samarinda. Sebut saja, larangan mendirikan bangunan di atas trotoar atau drainase. Jelas ini melanggar aturan karena mengambil hak pejalan kaki. Selain itu, PKL juga membuat kota tampak jorok dan tidak teratur. Serta tidak mendukung program Hijau, Bersih dan Sehat (HBS). Pelanggaran yang lain seperti maraknya PKL menjual bensin eceran yang secara terang dan jelas dilarang di dalam undang-undang. Di samping itu, kalau berbicara kontribusi ke daerah, maka swalayan modern lebih berkontribusi dengan pajak yang mereka bayarkan (swalayan resmi), dibanding PKL yang sama sekali tidak memberikan kontribusi pajak, namun justru memperburuk citra Samarinda. Belum lagi persoalan barang yang dijual di PKL terkadang tidak terkontrol baik dari segi kebersihan, kesehatan dan kadaluarsa. Saya pernah menemukan di sebuah kios PKL menjual minuman yang sudah rusak. Satu hal lagi, pelayanan yang diberikan PKL jauh dari kata memuaskan karena kerap bertindak seolah-olah mereka sangat dibutuhkan (saya pernah diminta mengisi sendiri bensin motor saya sedangkan sang penjual asik menonton. Saya gak jadi isi bensin dan memilih di tempat yang lain). Saya lebih sepakat kalau aksi penyegelan itu dilakukan sebagai simbol menolak kapitalisme. Karena kapitalisme sama sekali tidak sejalan dengan sikap gotong-royong yang sudah turun temurun diwariskan leluhur bangsa ini. Kapitalisme tidak hanya menghancurkan sistem pasar, tetapi juga membuat jarak antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Wallahu a’lam bishawab…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun