Indonesia, dengan kekayaan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Namun, amanah ini terus diuji oleh eksploitasi sumber daya yang merusak ekosistem. Berdasarkan data FAO dan Global Forest Watch, pada tahun 2023, Indonesia kehilangan 144.000 hektar hutan primer, hal ini mencerminkan betapa seriusnya ancaman deforestasi dan perusakan lingkungan bagi upaya konservasi.
Salah satu contoh nyata yang dapat disaksikan hari ini di Sulawesi Selatan, khususnya di Bili-bili, Gowa, dan Bantaeng. Di Bili-bili, aktivitas penambangan pasir menyebabkan sedimentasi tinggi di Sungai Jeneberang dan waduk Bili-bili. Akibatnya, bendungan semakin meluas oleh timbunan hasil kerukan, sehingga tampak seperti pulau kecil. Kondisi ini tidak hanya menurunkan kualitas air, tetapi juga meningkatkan risiko banjir besar pada musim hujan, yang dapat membahayakan pemukiman di sekitarnya.
Di sisi lain, yang tidak kalah mengerikan adalah tambang nikel di Bantaeng, aktivitas tambang nikel ini memberikan dampak serius bukan hanya bagi masyarakat sekitar, tetapi juga para pengendara yang melewati jalan poros utama. Lokasi tambang yang berada di pinggir jalan menyebabkan debu dan pencemaran logam berat menyebar, yang dapat mengancam kesehatan dan kenyamanan pengguna jalan. Kerusakan lingkungan serta gangguan kesehatan ini memperburuk kesejahteraan masyarakat dan ekosistem di wilayah tersebut. Akibatnya, kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang timbul sulit untuk dipulihkan, hal ini dapat menciptakan tantangan besar bagi keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Eksploitasi yang berlebihan menunjukkan keserakahan manusia yang mengabaikan dampak jangka panjang demi keuntungan ekonomi sesaat. Seperti kata Mahatma Gandhi, "Bumi memiliki cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan satu orang."
Tanggung Jawab Khalifah dalam Menjaga Amanah Bumi
Sebagai makhluk yang diberi amanah oleh Sang Pencipta, manusia memiliki peran istimewa sebagai khalifah di bumi. Dalam konsep ini, manusia tidak hanya berperan sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pengelola dan pelindung bagi lingkungan dan seluruh makhluk di dalamnya. Menjadi khalifah berarti menerima tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan memenuhi tugas ini dengan bijaksana.
Namun, seiring dengan kemajuan dan eksploitasi sumber daya alam, peran sebagai khalifah kerap kali dilupakan. Banyak pihak terjebak dalam orientasi keuntungan jangka pendek, lalu mengabaikan dampak panjang yang ditimbulkan. Eksploitasi hutan, pencemaran air, dan udara, serta krisis iklim yang semakin parah menjadi penanda bahwa amanah ini sering kali dikhianati. Sebagai khalifah, manusia seharusnya tidak bertindak sebagai perusak, tetapi justru sebagai penjaga dan perawat alam.
Khalifah juga memiliki tanggung jawab moral, bukan hanya terhadap makhluk lain di bumi, tetapi juga kepada generasi mendatang. Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan seperti apa lingkungan kedepannya. Sehingga, tugas khalifah bukan sekadar hak untuk mengelola, tetapi kewajiban untuk melestarikan. Menjaga amanah merupakan bentuk pengabdian yang sejati, bukan hanya kepada Sang Pencipta, tetapi juga kepada sesama manusia. Sebab, bumi ini tidak kita warisi dari leluhur, melainkan kita pinjam dari anak cucu kita.
Peran yang dilupakan Oleh Ormas Agama
Sebagai seorang Muslim, saya sangat percaya bahwa Islam menanamkan nilai-nilai kuat dalam menjaga lingkungan. Al-Qur'an mengamanahkan manusia sebagai khalifah di bumi (Khalifatan Fil Ardh), tanggung jawab yang mencakup pelestarian alam serta pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan. Namun, kekecewaan muncul ketika beberapa bulan yang lalu saya mendengar dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, justru menerima konsesi tambang. Keputusan ini terasa bertentangan dengan ajaran lingkungan dalam Islam.