Mohon tunggu...
Syamsuddin B. Usup
Syamsuddin B. Usup Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kakek dari sebelas cucu tambah satu buyut. Berharap ikut serta membangun kembali rasa percaya diri masyarakat, membangun kembali pengertian saling memahami, saling percaya satu sama lain. Karena dengan cara itu kita membangun cinta kasih, membentuk keindahan hidup memaknai demokrasi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lembu Bodong

11 November 2010   14:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lembu Bodong alias Ledong adalah anak ibunya, bukan berarti dia tidak punya ayah. Bapaknya orang istana, kata warga setempat. Meski tidak seorangpun dapat menyebutkan dengan pasti siapa orang istana dimaksud. Beberapa kali memang akuwu ( kepala dusun ) Tebupait membujuk gadis cantik bunga dusunnya itu untuk mengungkapkan siapa sebenarnya ayah si Ledong. Gagal maning gagal maning.

Jawaban berupa senyum teramat manis itulah penyebabnya akuwu tak sanggup memaksanya bicara. Pada catatan pedukuhan di daun lontar, tertulis “ketika kutanya siapa sang ayah si Ledong selalu dijawab dengan semyum tersipu”

Sepasukan Bhayangkari mendatangi rumah Nirondo Putih, mengegerkan dusun. Warga Tebupait berdatangan ke rumahnya ingin mengetahui apa gerangan yang akan terjadi. Sebagian warga bertanya-tanya, apakah ini penangkapan?, siapa yang ditangkap?. Tetapi mengapa pasukan bhayangkari membawa kereta kencana yang biasanya hanya digunakan oleh penghuni kaputren istana.

Tak lama kemudian terdengar tangis bayi, si Ledong menangis karena disapih Nirondo Putih ketika masih menetek ibunya. Emaknya Ledong terlihat keluar gubuk tanpa menoleh sesiapapun, lalu dibimbing prajutir menaiki kereta kencana. Sesaat seluruh warga yang hadir terdiam, sepiiii hening seakan malaikat sedang lewat. Keheningan dipecahkan suara akuwu

“emaknya Ledong boyong ke istana”.

……Ooohhhhhhh…

Warga bubar, bunga dusun dibawa ke istana raja seperti mengungkap separoh rahasia. Memang benar bahwa ayahnya Ledong adalah orang istana. Namun siapakah dia masih tersisa tanda tanya.

II.

Selikur artinya duapuluhsatu, malam ketujuh setelah purnama penuh selalu terdengar tembang dengan suara yang teramat merdu. Ledong memang beruntung memiliki paras wajah tampan setampan saya namun memiliki kelebihan lain yaitu suaranya yang merdu. Setiap malam likuran dia membaca kakawih tanah Tebupait yang berkisah tentang Gadis bunga dusun yang diboyong ke istana menjadi selir Sang Prabu Raja Mahkota.

Ledong sudah jejaka berusia dua puluh satu tahun, namun dia tidak memahami bahwa kekawih tanah Tebupait yang dilantunkannya adalah hikayat ibundanya yang dituliskan akuwu di daun lontar sebagai hadiah warisan dari kepala dusun itu. Bahkan dia tidak mengenal ibunya. Ledong hanya kenal Nirondo Putih mbahnya. Dia menerima saja dan tidak pernah bertanya, merasa tidak perlu bertanya siapa ayah ibunya. Dia menyadari betul dan menerima takdir seutuhnya, meski berparas tampan namun cacat bawaan dalam kandungan. Tubuhnya tidak berkaki dan tidak bertangan.

Setiap malam dua puluh satu dia selalu bersenandung :

Tujuh malam sudah purnama pergi.

Hanya tersisa sedikit cahayamu bulan.

Tetapi cukuplah cahyamu membelai jiwaku.

Dalam mimpiku kau selalu ada bersinar terang.

III.

Bergerak cepat dan tersistem seperti Densus 88, sepasukan bhayangkari mendatangi rumah Ledong, peristiwa langka yang mengegerkan dusun. Warga Tebupait berdatangan ke rumah Ledong ingin mengetahui apa gerangan yang akan terjadi. Sebagian warga bertanya-tanya, apakah ini penangkapan?, siapa yang ditangkap?. Ledong memang tidak bisa meronta, dia cacat tidak berkaki tidak bertangan tentu tak berdaya. Terperangkap sorot tajam mata warga yang curiga.

Dia hanya diam membisu, meskipun matanya menyiratkan bisikan protes kata hatinya. “ Aku bukan mafia pajak, meski cacat begini upeti buat kerajaan tetap kusetorkan”.

Uang dari mana? Setiap malam dua puluh satu, diam diam warga dusun selalu memberikan hadiah untuk tembang dengan suara merdunya. Pada pagi harinya Nirondo Putih selalu menemukan beberapa keping tembaga tergeletak di ‘sofa’ depan gubuknya. Uang itulah yang dikumpulkan dan disetorkan kepada kepala dusun pemungut upeti buat kerajaan.

Prajurit berbadan kekar dan tangguh tetap saja merimpung tubuh cacatnya. Memasukannya ke keranda yang diselimuti kain sutera kuning bertatah gambar burung elang kepala dua bercakar sembilan, berornamen sulam benang keemasan. Keranda diangkat naik ke kereta kencana yang biasanya hanya untuk para raja. Nirondo keberatan cucunya dibawa pergi, namun bagi prajurit bhayangkari perintah raja harus dipatuhi.

Malam itu sangat terasa mencekam. Ketika kereta pergi menghilang di gelapnya malam, nirondo sepuh jatuh pingsan, jiwanya yang duka pergi entah kemana.

Akuwu hanya terbengong bengong diantara warga dusun Tebupait yang bergerombol. Dia tidak bisa memberikan penjelasan apapun. Akibat sikapnya yang lelet sang kepala dusun selalu datang terlambat, kejadian berlangsung begitu cepat. Pada catatan pedukuhan di daun lontar, akuwu hanya menuliskan “Ledong dibawa pergi pasukan bhayangkari pada hari ketujuh setelah purnama penuh. Ledong tidak pernah nunggak upeti”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun