Mohon tunggu...
syam surya
syam surya Mohon Tunggu... Dosen - Berpikir Merdeka, Kata Sederhana, Langkah Nyata, Hidup Bermakna Bagi Sesama

Pengajar dan Peneliti ; Multidicipliner, Humaniora. Behaviour Economics , Digital intelligence

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PSBB, Ketidakpedulian sebagai Banalitas Kejahatan?

24 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 24 Juni 2020   07:48 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Joshua Ackerman, seorang profesor psikologi di University of Michigan, menyebabkan bahwa Individualisme menjadi penyebab penting kenapa orang-orang tersebut acuh kepada kebijakan kesehatan di tengah pandemi. Demikian juga Sten Vermund, seorang dekan di Yale School of Public Health, menyebut bahwa orang yang melanggar pembatasan sosial tidak punya rasa perhatian kepada orang lain karena mereka tidak memiliki rasa altruisme yang akut! kepedulian orang-orang (Kumparan, 200620) .  

Lalu bagaimana Kepedulian itu dalam Pandangan Etis dan Moral ?

Hannah Arendt melihat Ego Individual itu karena tidak adanya Rasa Tanggung Jawab Kolektif sebagai masyarakat. Arendt secara mendasar melihat bahwa hal ini  karena sifat borjuis bertumbuh dalam masyarakat kotemporer dan kemudian masyarakat digital saat ini. Padahal dalam kondisi pandemi COVID-19, ketidakpedulian dapat menyebabkan seseorang menjadi  “pembuat mesin kematian”. Arendt mengingatkan bahwa situasi ini kalau dibiarkan, akan dapat mengubah banyak orang menjadi  “penghianat kemanusiaan”. 

Ini seperti saat beberapa orang memberi rekomendasi sesorang untuk naik kereta api Hitler menuju Auschwitz, menuju “ladang kematian” dengan mengkhianati keluarganya, tetangganya, atau masyarakatnya. Dalam kasus COVID-19, ketidakpedulian membuka peluang banyak orang terpapar virus COVID-19,  dan mendekati jalan kematian.

Arendt juga melihat bahwa situasi borjuasi ini juga dapat menyebabkan seseorang meninggalkan kepatuhan. Ini terjadi arena situasi borjuasi melihat kenyamanan keberadaannya terancam. Borjuis adalah manusia massal kontemporer, terisolasi dalam kenyamanan dan keamanan ruang pribadinya sendiri, dilindungi oleh dinding kondominiumnya dan mengamati dunia luar yang mengancam melalui kamera keamanan rumahnya. 

Dalam dunia digital,  hal ini lebih dimungkinkan, dengan sifat echochamber, dan algoritma yang mengumpulkan orang sesuai kebiasaan/kesenangan/plihan kliknya termasuk sesuai idiologinya dan pilihan politik. Dengan sifat digital ini maka masa manusia hidup dalam isolasi diri dan kelompoknya, terbenam dalam solipsisme moral dan politik. Masyarakat dengan mudah dapat di-atomisasi dan "individu-individu yang terisolasi" di mana orang hidup bersama (dengan kelompoknya) tanpa mau berbagi dengan bagian dunia yang berbeda.

Dalam dunia digital, Orang akan mudah mengalami Keterasingan. Hal ini justru dapat memfasilitasi penghancuran keterbukaan ruang publik, karena ruang publik terbagi hanya menjadi saya atau kamu. Sayangnya satu-satunya rujukan ke dunia adalah diri mereka sendiri. Ini adalah masalah mendasar mekanisme produksi sosial dari ketidakpedulian moral terhadap masyarakat lain. Inilah yang melabrak tentang kepatuhan, karena baginya kepatuhan adalah yang sesuai dengan pikirannya sendiri, tidak melihat akan wawasan lainnya.

Pada akhirnya semua itu menyebabkan “ketidak pedulian daya pikir”, sehingga orang-orang menuntup diri atas kemampuan untuk berpikir dan menilai serta membedakan secara etis apakah baik atau tidak baik, tindakan yang dilakukannya, berdasakan ukuran universal Kemanusiaan. Inilah yang kemudian Arendt sebut sebagai "Banalitas Kejahatan."

Banalitas Kejahatan, adalah tindakan paling kejam dibandingkan kejahatan lainnya. Kejam karena dihasilkan dari menolak hasil daya pikir etis nya, dihasilkan dari ketidakmampuan untuk berpikir dari sudut pandang orang lain. Individu yang menyebabkan jenis kejahatan dangkal ini adalah karakter yang sangat menakutkan karena ia dengan total tidak melihat ketidakhadiran dari dunia orang lain.

Apalagi tindakan ketidakpedulian akan keselematan orang lain itu seorang pejabat, yang punya wewenang mengatur masyarakat serta melindunginya.  Tidak perlu senjata Bom Nuklir, untuk jadi “pembunuh masal”, cukup dengan membuat aturan yang memungkinkan penyebaran COVID-19 dengan cepat atau tidak membuat aturan yang mencegah penyebaran COVID-19.

Dia sudah tidak mempedulikan keselamatan orang lain bahkan keluarganya, orang tuanya dan masyarakatnya akan bahaya yang dapat mengancam jiwa.Dia tidak mampu menempatkan dirinya pada posisi orang-orang yang dikirim ke ruang ICU di rumah sakit dengan alat bantu pernafasan. Atau melihat bagaimana tragisnya dan sangat mengenaskannya  kematian karena corona. Para pejabat ini tidak melakukan pertimbangan moral dan etis Kemanusiaan.

Pelaku dangkal ini mampu melakukan perbuatan jahat karena dia tidak merefleksikan peraturan, kebiasaan, praktik, atau mengabaikan perintah untuk mencegah kerugian; ia menerimanya tanpa menggunakan pemikiran independen, atau, dengan kata lain dalam istilah Kantian, tanpa subjek yang mampu mempraktikkan pepatah: "Berani Berpikir". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun