Mohon tunggu...
Abdul Syakur
Abdul Syakur Mohon Tunggu... -

"Mumpung masih sehat, banyakin ibadat dan berbuat yang manfaat.\r\nKalo udah sakit, boro-boro ibadat, bawa diri aja kagak kuat."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Oplosan

9 Januari 2015   15:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Biasanya dia mengendarai mobil manual. Suatu saat, tuannya membelikan dia mobil matic. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, ia mengendarai mobil baru tersebut. Secara perlahan dicoba. Awalnya – ya biasalah yang namanya permulaan – tersendat-sendat. Tapi setelah beberapa lama, dia mulai lancar dan terbiasa. Bahkan sudah mulai terasa nyaman. Saat mulai terasa nyaman itu, sekonyong-konyong, tuannya menjual mobil maticnya dan kembali menggunakan mobil yang lama (manual). Kaget dan agak bingung, karena mesti membiasakan dengan yang lama.

Itulah kurang lebih kondisi sekolah saat ini. Enam bulan dan atau satu tahun setengah kurtilas dijalankan. Beberapa guru memang ada yang tetap kesulitan dan atau terbebani dengan kurikulum yang baru. Sesuatu yang baru memang perlu penyesuaian dari berbagai sisi. Namun, tidak bisa dinafikan pula, sebagian guru sudah merasa nyaman dengan kurtilas.

Memang, ada beberapa sisi perbedaan antara KTSP dengan Kurtilas. Dengan perbedaan itu, sang guru mesti move on. Yang namanya perubahaan menuntut seseorang untuk mengubah kebiasaan lama dengan kebiasaan baru. Selama ini, sejak CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) digulirkan, selalu saja pola mengajar guru tidak berubah. Pola mengajar dengan ceramah adalah hal yang selama ini sudah menjadi kebiasaan. Begitu pun dengan KTSP, pola tersebut tidak mengalami perubahan. Yang terjadi di lapangan (sekolah), kondisi minta baca anak murid sangat minim. Siswa lebih senang mendengarkan ceramah guru, dan guru asik berceramah.

Kurtilas, dari satu sisi berusaha mendobrak kebiasaan  tersebut. Dengan pendekatan saintifik, memaksa guru untuk mengubah pola kebiasaan lama dengan pola kebiasaan baru dan memaksa siswa aktif dalam belajar. Memang, kurtilas sangat menuntut guru untuk benar-benar mempersiapkan pembelajaran sebelum PBM dilaksanakan. Tanpa persiapan perdekatan santifik, maka proses belajar mengajar dengan kurikulum 2013 tidak bisa dijalankan. Tentunya, berbeda dengan pola ceramah.

Selama ini – tentu tidak semua guru – masuk ke kelas, memberi salam, mengabsensi, menyampaikan tujuan pembelajaran, meminta siswa membuka buku pelajaran, guru menerangkan apa yang ada di buku, baik dengan pola siswa yang membaca, lalu guru menjelaskan. Setelah itu tanya jawab. Posisi siswa asik mendengarkan dan bahkan ada yang terkantuk-kantuk. Di akhiri siswa mengerjakan soal. Guru memberikan pekerjaan rumah. Selesai.

Begitu kurtilas diberlakukan, guru mesti mengubah pola itu. Guru mesti membersiapkan bahan ajar. Guru mesti mencari ide dan membuat bahan pembelajaran agar “memaksa” siswa mau mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasikan, mengkomunikasikan, dan dapat dilanjutkan dengan mencipta. Sebenarnya, bila sang guru mampu membuat bahan pembelajaran yang diinginkan kurtilas, maka proses pembelajaran akan terasa nyaman. Guru tidak banyak bicara. Siswalah yang aktif dalam proses tersebut.

Memang, ada sisi kekurangan dengan pola tersebut. Untuk beberapa mata pelajaran pola tersebut sulit untuk dilakukan. Misalnya matematika. Karena pendekatan saintifik menuntut siswa memahami pelajaran dengan sendirinya dan dia mesti bisa menjelaskan materi tersebut. Kalau matematika, sangat berat bagi siswa. Toh dijelaskan oleh guru saja ada siswa yang tidak paham apalagi mereka mesti memahami sendiri.

Kemudian, tantangan yang berat dalam kurtilas adalah system penilaian. Pendekatakan yang digunakan adalah penilaian otentik. Ada penilaian sikap, penilaian pengetahuan dan penilaian keterampilan. Untuk pengetahuan dan keterampilan, itu hampir sama dengan yang ada di KTSP. Tapi untuk sikap merupakan hal baru. Dalam penilaian sikap ini, guru memang mesti melakukannya saat terjadi proses pembelajaran. Kalau guru tidak melakukan penilaian tersebut saat proses sedang berjalan, maka nilai sikap menjadi nilai “tembak.”

Namun, sisa bagusnya dari system penilaian sikap ini, siswa merasa diawasi dan dinilai oleh guru. Saat PBM berlangsung, ketika ada siswa yang tidak antusias dalam belajar, boleh dikata ngatuk, guru dapat menegurnya dan mengingatkan bahwa nilai sikapnya bisa dikurangi. Memang sih, penilaian sikap ini sangat banyak yang mesti diolah oleh sang guru. Bayangkan saja, siswa mengisi blangko penilaian diri dan penilaian sejawat untuk beberapa sikap dalam satu semester. Setalah siswa mengisinya, guru mesti merekap penilaian diri dan sejawat tersebut dan menghintungnya satu persatu. Ada sih, sekolah yang berusaha membuatkan program pengolahan nilai sikap tersebut, tapi kendala utamanya adalah pengisiannya yang  terlalu menyita waktu. Di samping penilaian diri dan sejawat, guru pun mesti mengisi nilai observasi dan nilai jurnal. Kemudian, menggabung keempat hal tersebut menjadi nilai akhir.

Seandainya, system penilaian ini dievaluasi dan diperbaiki, kurtilas akan dapat dijalankan dengan baik. Yang perlu dievaluasi atau dihilangkan adalah penilaian diri dan sejawat. Dari satu sisi memang baik untuk mendidik siswa menilai dirinya sendiri. Namun, saat sudah beberapa guru meminta siswa melakukan penilaian ini yang banyak kesamaan dengan guru lainnya, terjadi kejenuhan pada diri siswa yang berefek ketidakseriusan dalam mengisinya, boleh dikata asal-asalan. Untuk penilaian observasi dan jurnal itu dapat dipertahankan, karena dengan dua itu, akan memberikan “terapi tekanan” kepada siswa dalam pembinaan sikap oleh guru.

Pro kontra terhadap kurtilas terus bergulir hingga pergantian pemerintahan. Beberapa saat kurtilas berjalan, baik enam bulan atau pun satu tahun setengah. Karena ada sekolah yang sudah menjalankan tiga semester dan ada yang baru satu semester. Pemerintahan baru ini, dengan kajian tim-nya, menghentikan kurtilas dengan catatan. Bagi sekolah yang baru satu semester, diminta untuk kembali ke KTSP dan bagi sekolah yang sudah tiga semester tetap lanjut menggunakan kurtilas.

Ibarat sopir yang baru bisa mengendarai mobil matic dan dengan kondisi sudah dipertengahan jalan. Tiba-tiba, distop secara mendadak. Apa yang terjadi?

Seperti itulah kondisi sekolah saat ini. Berbagai macam tanggapan dari sekolah. Ada sekolah yang tetap melanjutkan penggunakan kurtilas dengan alasan, tidak logislah, masa siswa punya dua macam raport dalam satu tahun pelajaran. Semester satu model kurtilas dan semester dua model KTSP.

Ada juga sekolah yang menyatakan kembali ke kurikulum KTSP. Entahlah, seperti apa model raport semester satunya. Bisa jadi, sekolah tersebut kurikulum yang digunakan saat PBM dengan kurtilas, tapi raportnya model KTSP atau bisa jadi juga raportnya model kuritilas, yang nantinya saat semester dua raportnya model KTSP.

Bagi sekolah yang tetap melanjutkan penggunakan kurtilas, pada semester ini, mereka tidak mengalami kesulitan pergantian kurikulum. Tetapi, bagi sekolah yang kembali ke KTSP, mereka mendapat pekerjaan tambahan seperti awal tahun pelajaran. Seperti pengaturan jam mengajar guru dan perubahan honor guru. Karena beberapa mata pelajaran di KTSP dihapus atau ditiadakan pada kurtilas. Mau tidak mau, sekolah mengurangi dan menambah jam pelajaran bagi beberapa guru yang otomatis mempengaruhi honornya (ini di swasta loh).

Masalah buku pun menjadi kendala tersendiri bagi sekolah yang kembali ke KTSP. Buku kurtilas untuk semester dua ini, sudah diterima oleh beberapa sekolah, sedangkan buku KTSP, seperti yang sudah-sudah, itu diterbitkan oleh penerbit, mungkin (agak) sulit untuk mencarinya saat ini. Bila pun ada, maka siswa mesti membeli buku tersebut. Akibatnya akan membebani orang tua siswa. Yang mana salah satu tujuan kurtilas adalah mengurangi beban orang tua dalam pembelian buku pelajaran.

Baiklah, bila disarankan kurikulum kembali ke KTSP dengan menggunakan buku yang ada di perpustakaan dan dipadukan dengan buku kurtilas. bisa dibayangkan betapa “rancunya” proses pembelajaran dengan ketidakjelasan kurikulum. Kalaupun terus dipaksaakan. Mata pelajaran yang tidak ada di kurtilas, seperti KKPI, TIK, IPA dan IPS, guru bertanya, “di semester dua ini, mulainya dari materi semester satu atau materi semester dua?” Nah, ini masalah bukan? Bila dari semester satu, pastinya waktu tidak cukup. Bila dari semester dua, tentu menjadi ilmu yang tidak sempurna, toh wong dasarnya ada di semester satu?

Inilah problematika riil di lapangan yang mungkin tidak dialami oleh pengambil keputusan. Telah terjadi percampuran dua kurikulum. Akhirnya, berakibat ketidakjelasan perbedaan antara KTSP dengan Kurtilas. Di media sosial ada yang berseloroh. KTSP rasa Kuritilas atau Kurtilas rasa KTSP. Eeh ada yang menimpali, “ya begitulah namanya juga kurikulum oplosan.

Seperti apapun keputusan yang diputuskan oleh orang yang telah mengampil keputusan, kami pihak sekolah akan tetap berusaha memberikan yang terbaik buat siswa dan akan tetap berupaya memberikan kenyamanan kepada siswa agar mereka tidak terbawa pro kontra kurtilas ini. Kami pihak sekolah yang merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, sangat berharap agar keputusan yang diambil adalah keputusan untuk masa depan bangsa ini. Bukan keputusan atas dasar pertimbangan pencitraan apalagi pertimbangan politik.

Dari seorang guru….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun