Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menikmati Dunia, Menambah Teman

18 Februari 2015   06:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:59 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masih ingat kata pepatah: “Seribu teman terasa kurang, satu musuh terasa sesak.” Kalimat pendek itu terasa mencubit saya. Pertama kali saya masuk ke Unesa, saya benar-benar tertutup (introvert). Saya sulit bersosialisasi. Dua permasalahan yang muncul bersamaan pada waktu itu. Pertama, masuk Unesa bukan keinginan saya tapi takdir Allah. Hal itu mengakibatkan saya sulit move on. Kedua, dari sekolah saya, saya satu-satunya siswa yang masuk Unesa kampus Ketintang.

Saya lebih buruk dari mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Ketertutupan saya tidak hanya di tempat kos melainkan juga di kampus. Mau berkenalan saja sulitnya minta ampun. Bahkan di kos, dengan teman sekosan saya pun tidak mau berkenalan. Sehingga jiwa tidak kerasan semakin berlipat-lipat.

Ketika pindah ke UKM pun saya tidak jauh berbeda. Mengisolasi diri adalah pilihan saya. Kak Riski (ketua BEM FE periode 2014-2015) mencoba mendidik saya agar bisa berubah. Saya dikenalkan dengan para senior di fakultas. Banyak yang mengenal saya namun saya tak kunjung terbuka.

Saya baru merasakan dunia yang berbeda, saya mulai bisa terbuka setelah saya menjadi reporter Humas Unesa. Saya dipaksa mewawancarai orang-orang yang sama sekali belum saya kenal. Tidak hanya mewawancarai mahasiswa, tapi juga para dosen hingga rektor. Mulanya saya memang sangat malu dan ragu. Tapi, berkat dorongan dari teman-teman di Humas, saya berusaha memberanikan diri.

Saya masih ingat bagaimana saat-saat pertama kali wawancara. Saya tidak pernah mencoba membuntuti narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang bermutu. Paling-paling hanya bertanya sesuai outline dan menerima setiap jawaban yang diberikan. Tentu saja suasana wawancara terasa kering. Tidak hanya narasumber yang merasa bosan tapi saya juga. Hmmm!

Kemudian, pada acara PKM di kantor Pusat saya ditugasi meliput oleh Humas. Saya didampingi Mas Gilang (fotografer Humas). Saya menemui Pak Yanto di lantai satu. “Itu wawancarai Pak Yanto,” suruh Mas Gilang setelah turun dari tangga.

Kaku sekali rasanya saat saya wawancara. Mau bertanya apa saya tidak tahu. Saya bingung. Untungnya, ada Mas Gilang yang memang sudah menjadi senior saya di Humas. Begitu fleksibel dia bertanya ke Pak Yanto. Dia tidak mau berhenti untuk terus bertanya sehingga banyak informasi yang saya dapatkan.

Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Gilang karena dari dia saya pertama kali belajar berani bertanya dengan pertanyaan yang mungkin kadang terkesan nakal pada narasumber. Bermula dari situ, saya terus mengeksplor kemampuan bertanya saat wawancara. Saya berusaha untuk membuat narasumber merasa nyaman bahkan merasa tidak diwawancarai saat saya wawancara.

Saya juga berusaha memahami karakter narasumber dengan baik, meskipun ini belum berhasil. Saya yakin, dengan memahami karakter narasumber dan bisa menyesuaikan diri maka narasumber akan lebih enjoy. Dengan kondisi enjoy tentunya akan banyak keuntungan yang saya dapatkan. Misalnya, saya akan lebih banyak mendapatkan informasi daripada kondisi tegang dan juga akan membuat narasumber lebih akrab dengan saya. Nah, keakraban ini sangat penting sebab dari sanalah sumber-sumber kelancaran akan terbuka.

Apabila narasumber sudah akrab dengan saya maka di mana pun kami berpapasan maka tanpa rasa sungkan kami saling bertutur sapa. Kemudian, apabila ada sesuatu yang penting maka tanpa diminta pun narasumber akan menghubungi saya. Inilah salah satu bagian dari kunci memperbanyak jaringan.

Lambat laun tapi pasti, saya tidak menyadari bahwa saya sudah mengalami perubahan yang sangat besar dalam hidup saya. Saya merasa lebih mudah untuk bergaul dengan siapa saja. Sedikitnya, saya sudah mulai berani bergaul dengan siapa saja. Tak peduli apa jabatannya. Saya berusaha untuk menyelami dunia jurnalistik: kita adalah sama.

Baru-baru ini, setelah beberapa bulan saya tidak bertemu dengan Kak Riski, dia mengajak saya ke tempat barunya di Lidah Wetan. Dia sedang membuka usaha printing dan toko ATK. Barangkali dia melihat juga perubahan yang terjadi pada diri saya. “Sekarang kamu sudah berbeda. Cara kamu untuk akrab dengan orang lain sudah bagus,” ucap dia di tokonya.

Alhamdulillah! Saya hanya bisa bersyukur sebab saya merasa bahwa ini juga bagian dari nikmat yang Allah berikan pada saya. Ini hanya sebagian buah dari hasil proses. Bagi saya, yang terpenting saat ini adalah berusaha meningkatkan kemampuan berkomunikasi yang baik dan menggunakannya dalam hal-hal baik pula.

Satu hal yang dapat saya ambil pelajaran dan saya jadikan sebagai motivasi adalah sebenarnya kemampuan bersosialisasi itu sangat penting dalam kehidupan manusia. Dapat saya bayangkan betapa mengerikannya saya seandainya saya tidak mampu bersosialisasi dan beradaptasi. Tentu saya tetap menjadi penyendiri hingga sekarang. Tak ada teman dan hanya menjadi penunggu di pojokan kampus.

Namun, berkat usaha, doa, dan izin dari Allah, setelah saya mulai mampu bersosialisasi dengan lebih baik, saya memiliki teman yang banyak. Rasa malu dan minder mulai lenyap dari dalam diri saya. Saya merasa memiliki ruang yang lebih luas dan lebih indah daripada sebelumnya. “Seribu teman terasa kurang, satu musuh terasa sesak.”


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun