Sungguh disayangkan pernyataan sekelas Menteri BUMN Rini Soemarno soal dukungannya terhadap perpanjangan kontrak JICT yang disampaikan Sabtu (5/8) pekan lalu.
Pasalnya dirinya sendiri mengakui perpanjangan kontrak tersebut dilakukan tanpa izinnya atau RUPS Menteri.
Alasan Rini, perpanjangan kontrak JICT sangat menguntungkan semua pihak. Padahal, kerugian negara dari kurangnya uang muka perpanjangan kontrak mencapai sedikitnya Rp 4,08 triliun sesuai hasil audit investigatif BPK RI yang dirilis 6 Juni 2017.
Belum lagi soal penambahan uang muka perpanjangan kontrak JICT USD 15 juta tanpa ada perubahan termin komersil yang sudah disepakati Pelindo II dan Hutchison. Lantas penambahan itu untuk apa? Jawaban CEO Hutchison Indonesia Rianti Ang, "untuk memenuhi permintaan Ibu Menteri BUMN".
Hal ini menjadi indikasi jelas keterlibatan yang bersangkutan dalam proses perpanjangan kontrak ilegal tersebut.
Lebih jauh pernyataannya soal target pesangon 10 tahun pekerja JICT yang melakukan mogok, Â menjadi pertanyaan tersendiri, kenapa selevel Menteri BUMN mengurusi sampai teknis anak perusahaan?
Bukankah ada Deputi, Asisten Deputi, Komisaris, Direktur Induk Perusahaan dan Direktur Teknis Pembinaan Anak Usaha?
Lalu mengapa Rini malah tidak tegas soal indikasi pelanggaran-pelanggaran GCG dan tindakan kontraproduktif Direksi Pelindo II yang membiarkan Direksi anak perusahaannya?
Direksi JICT baik perwakilan dari Hutchison maupun Pelindo II bersama para komisaris seolah berkolaborasi melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif dan melanggar aturan serta GCG perusahaan.
Sebut saja membiarkan mogok kerja selama 5 hari dengan kerugian perusahaan dan pengguna jasa mencapai ratusan milyar rupiah. *Sekali lagi, ratusan milyar rupiah*.
Belum lagi ancaman stagnasi perekonomian nasional dan kelambatan pelayanan akibat tidak handalnya produktivitas pelabuhan yang mendapat limpahan akibat mogok pekerja JICT.