Setiap orang punya rencana pensiun. Tapi kalau kamu buka laptop mereka, yang ada di layar bukan "rencana pensiun," melainkan file Excel berisi mimpi yang belum sempat realistis.
Baris pertama: target tabungan.
Baris kedua: estimasi pengeluaran.
Baris ketiga: catatan kecil --- "kalau nggak ada pandemi dan anak nggak minta kuliah di luar negeri."
Itu bukan spreadsheet, saudara-saudara. Itu novel tragikomedi finansial.
Sebagai akademisi (saat ini, sebelumnya pengusaha dan politisi) yang sudah melewati masa "laporan keuangan pribadi" dan masuk tahap "laporan ke Tuhan," saya bisa bilang: kebanyakan orang tidak gagal merencanakan pensiun karena kurang pintar, tapi karena terlalu optimis. Mereka menyusun rencana pensiun seperti menulis proposal hibah --- penuh harapan, minim realita.
Teori ekonomi menyebut fenomena ini sebagai optimism bias --- kecenderungan manusia menilai masa depan dengan kaca mata berwarna emas. Dalam imajinasi kita, masa pensiun itu seperti iklan asuransi: duduk di pantai, minum jus jeruk, rambut beruban tapi hati bahagia.
Padahal, realitasnya bisa lebih mirip: duduk di ruang tamu, minum teh manis, menatap atap bocor, sambil bilang, "Waktu itu saya kira cicilan ini udah lunas..."
Tapi tenang dulu, saya tidak sedang menyindir --- saya sedang mengingatkan dengan penuh cinta (dan sedikit tawa getir).
Rencana pensiun sejatinya bukan sekadar angka di Excel, tapi cara berpikir tentang makna hidup setelah produktivitas formal berhenti. Ini bukan cuma financial planning, tapi existential planning.
Mari kita ambil teori life-cycle hypothesis dari Franco Modigliani (bukan nama grup band, ini ekonom serius). Ia bilang, manusia merencanakan konsumsi dan tabungan agar bisa menjaga kesejahteraan di masa tua --- alias, supaya gaya hidupnya tidak anjlok ketika gaji berhenti.
Masalahnya, teori ini lupa satu hal penting: di dunia nyata, selalu ada "kejadian tak terduga"---mulai dari inflasi, pandemi, sampai anak yang tiba-tiba mau kuliah di jurusan seni rupa (dan entah kenapa kuliahnya di Eropa).
Jadi, solusi realistisnya?
Pertama, berhenti membuat rencana pensiun yang kaku seperti jadwal kereta Jepang. Hidup tidak pernah berjalan se-efisien itu. Sisakan ruang untuk spontanitas dan perubahan. Buat rencana yang lentur --- bukan hanya tabungan, tapi juga tabiat. Belajarlah menyesuaikan ekspektasi dengan kenyataan. Kadang bahagia itu bukan soal cukup uang, tapi cukup rela.
Kedua, pensiunlah secara bertahap, bukan sekaligus. Banyak orang pensiun total seperti mencabut kabel dari stopkontak --- kaget, sepi, lalu merasa tidak berguna. Padahal, ilmu dan pengalamanmu itu aset yang bisa terus berputar. Ajar generasi muda, buka kelas kecil, atau sekadar berbagi cerita bijak di warung kopi. Secara teori, ini disebut human capital recycling --- memanfaatkan modal pengetahuan agar tetap produktif tanpa tertekan.
Ketiga, bicarakan rencana pensiun di meja makan, bukan di kantor bank. Karena ujungnya bukan cuma angka, tapi kesepahaman. Saya lihat banyak pasangan yang tabungannya cukup, tapi hatinya tidak satu suara: suami ingin tinggal di kampung, istri ingin jalan-jalan ke luar negeri. Ujungnya? Pensiun jadi ajang negosiasi diplomatik tiap bulan.
Saya pernah punya teman/senior, Bu Ratna, dosen senior yang menolak ikut arisan pensiunan. Katanya, "Saya sudah cukup kerja keras. Sekarang saya kerja pelan saja: nanam cabai, bikin sambal, dan menikmati pagi."
Ironisnya, justru dia yang paling sehat, paling bahagia, dan... saldo rekeningnya malah awet. Rupanya, stres lebih mahal daripada inflasi.
Jadi, kalau kamu sekarang sedang sibuk menyusun rencana pensiun dengan rumus Excel yang rumit, selipkan satu kolom kecil: kolom "bahagia."
Isi dengan hal-hal sederhana --- main dengan cucu, jalan kaki pagi, ngobrol santai tanpa mikir notifikasi.
Karena di ujung perjalanan, kita baru sadar: rencana pensiun terbaik bukan yang membuat kita kaya, tapi yang membuat kita tetap ingin bangun pagi.
Salam pejuang saldo positif!