Di sebuah gang sempit Jakarta, ada dua institusi keuangan yang sama-sama disegani rakyat kecil: fintech lending dan warteg Mbak Surti.
Keduanya bisa memberikan pinjaman tanpa banyak tanya.
Bedanya, kalau fintech menagih dengan notifikasi dan bunga, Mbak Surti menagih dengan tatapan menusuk dan ucapan pamungkas: "Besok bayar ya, Mas."
Entah kenapa, yang kedua terasa jauh lebih menekan.
Hari ini, kita hidup di era di mana kata fintech terdengar lebih seksi dari kata nasi uduk.
Anak muda bangga berkata "aku invest di peer-to-peer lending," padahal saldo e-wallet-nya baru cair dari cashback kopi literan.
Fintech menjanjikan inklusi keuangan digital; warteg menjanjikan kenyang sebelum gajian.
Dan kalau ditanya siapa yang benar-benar paham ekonomi rakyat, saya tanpa ragu jawab: Warteg menang telak.
Coba pikir: fintech memerlukan data, algoritma, dan skor kredit untuk tahu kamu miskin.
Warteg cukup melihat lauk yang kamu pilih.
Kalau kamu sudah mulai bilang "sayur aja, Mbak, kuahnya yang banyak," maka sistem analitiknya langsung bekerja.
Tidak perlu AI---cukup insting ibu kos dan tatapan penjual sambal.
Dalam teori ekonomi klasik, pasar bekerja berdasarkan permintaan dan penawaran.
Dalam teori warteg, pasar bekerja berdasarkan empati dan utang budi.
Sementara startup keuangan sibuk fundraising, warteg sibuk friendraising.
Satu menulis proposal ke investor; satunya lagi menulis "hutang 12 ribu" di buku bon, lengkap dengan emotikon hati.
Ironinya, fintech sering bicara soal sustainability, tapi banyak penggunanya justru tak bisa sustain bertahan di tanggal 20-an.
Aplikasi pinjaman cepat berlomba-lomba "memberdayakan rakyat," tapi entah kenapa rakyatnya makin tercekik bunga.
Mungkin yang mereka maksud "empowerment" adalah kekuatan untuk menekan tombol "ajukan lagi."
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari warteg?
Bahwa ekonomi bukan sekadar angka, tapi rasa.
Bahwa transaksi terbaik adalah yang masih menyisakan kemanusiaan, bukan sekadar algoritma.
Dan bahwa di tengah hiruk pikuk startup, kadang inovasi paling sejati justru tercium dari sambal terasi dan nasi hangat.
Maka, wahai para inovator keuangan digital, belajarlah dulu dari warteg.
Di sana tidak ada user experience designer, tapi ada human experience sejati.
Karena pada akhirnya, keberlanjutan ekonomi bukan soal siapa yang punya aplikasi, tapi siapa yang tetap membuka pintu bagi yang lapar.
Note : Dengan segala hormat pada semua warteg uang masih mau ngasih utangan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI