Bayangkan begini: Anda baru saja pulang dari Labuan Bajo. Kulit menggelap, kantong mengempis, dan tentu saja... tas jinjing oleh-oleh Anda penuh dengan gantungan kunci berbentuk komodo (made in China), kopi sachet, dan---tak lupa---selembar tenun ikat Sumba yang Anda dapatkan dengan perjuangan gigih: tawar-menawar selama 45 menit hingga harganya tinggal separuh dari biaya parkir mobil.
Bangga? Tentu. Tapi coba pikir sejenak: apa yang sebenarnya Anda bawa pulang? Warisan budaya, atau sisa lelang kearifan lokal yang kita bungkus dalam plastik bening?
Di negara dengan 17 ribu pulau, jutaan motif kain, dan ribuan penenun, kita justru punya satu kesamaan: kesukaan luar biasa terhadap oleh-oleh murah. Pokoknya asal lucu, kecil, dan bisa dibagi ke teman kantor sebanyak mungkin---misi wisata nasional pun dianggap sukses.
Padahal, wastra Nusantara itu bukan kain sembarangan. Itu hasil meditasi budaya, dibentuk dengan waktu, tangan, dan kadang air mata. Tapi hari ini? Kita lihat mereka dijual tumpuk-tumpukan di toko oleh-oleh dengan spanduk "SALE 50% SEMUA TENUN!". Warisan budaya dijadikan program cuci gudang.
Sebagai ekonom dalam bidang ekonomi industri---dan veteran diskusi rapat anggaran pariwisata yang penuh kopi pahit---saya ingin jujur saja: kita sedang menyulap ekonomi budaya jadi ekonomi eceran.
Ketika tenun kita hargai sebagai oleh-oleh 'biasa', maka penenunnya pun akan diperlakukan 'biasa'. Yang tadinya memakai pewarna alami harus beralih ke cat tekstil, yang tadinya motif sakral jadi motif souvenir. Lalu kita bertanya: "Kenapa sekarang kain tenun rasanya semua sama?" Ya, karena pasar kita lebih mencintai harga daripada nilai.
Saya pernah melihat seorang ibu penenun menjelaskan filosofi motif kepada turis asing dengan penuh semangat. Turis itu mengangguk-angguk, lalu bertanya, "Kalau saya beli tiga, dapat gratis satu nggak?" Saya hampir pensiun lagi untuk kedua kalinya.
Inilah jebakan pariwisata massal: ketika budaya dijadikan jualan, tapi tanpa kurasi, tanpa edukasi, tanpa harga diri. Kita bilang mendukung UMKM, tapi menawar sampai titik darah pengrajin terakhir. Kita bilang cinta produk lokal, tapi tetap cari yang bisa dibeli pakai kembalian tol.
Tentu, ini bukan salah wisatawan saja. Sistem kita pun tak kalah lucunya. Pemerintah daerah sibuk bikin festival tenun, tapi lupa membangun ekosistemnya. Koperasi pengrajin dibentuk, tapi pemasaran diserahkan ke takdir. Dana pelatihan dikucurkan, tapi pengrajin tetap bingung menjual di era digital. Hasilnya? Tenun tetap tenun, tapi nilainya jalan di tempat.
Lalu apa solusinya, Prof? (Nah, bagian ini biasanya bikin mahasiswa mengantuk, tapi saya permudah ya):
- Kurasi, bukan cuma jualan. Produk budaya itu bukan cemilan. Perlu konteks, cerita, dan edukasi. Galeri tenun, bukan gudang diskon.
- Berdayakan pengrajin, bukan hanya menjual produknya. Latih mereka soal branding, harga adil, dan kontrol kualitas. Jangan biarkan calo budaya ambil margin paling besar.
- Ubah pola pikir wisatawan. Edukasi bahwa membeli tenun bukan sekadar belanja, tapi kontribusi terhadap keberlanjutan budaya. Jangan pelit pas belanja tenun, tapi royal pas bayar bagasi karena kelebihan belanja kaos oblong.
- Tolak mental "3 gratis 1" untuk produk budaya. Ini bukan minimarket, Bung.
Sebagai penutup, izinkan saya beri catatan kecil untuk para pemburu oleh-oleh: kalau Anda bisa membayar Rp 600.000 untuk makan malam Instagramable di tempat hits, kenapa Anda menawar tenun yang dikerjakan dua bulan menjadi Rp 150 ribu "biar adil"?
Warisan budaya itu tidak akan lestari hanya karena difoto atau dibicarakan. Ia akan bertahan jika kita, dengan sadar dan tulus, memberi nilai yang pantas bagi mereka yang menjaganya.
Disclaimer : Tenun Sumba hanya sebagai contoh, tidak bermaksud meremehkan dan sejenisnya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI