Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Vietnam Lebih Siap!

24 Juni 2025   01:09 Diperbarui: 24 Juni 2025   01:09 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dulu, hampir semua brand besar dan yang terbaik itu mestilah "Made in Indonesia" Namun kenyataan sekarang mereka pada kemanakah?

Relokasi Industri dari China: Peluang Emas yang Terlewatkan Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan pergeseran besar dalam lanskap industri global. Pandemi COVID-19, ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta tekanan terhadap rantai pasok global telah memicu gelombang relokasi industri dari China ke berbagai negara berkembang di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Perusahaan-perusahaan multinasional mulai mencari lokasi produksi alternatif yang lebih aman secara politik, lebih efisien secara biaya, dan lebih dekat dengan pasar baru. Fenomena ini mestinya menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk kembali meneguhkan posisinya sebagai basis industri manufaktur di kawasan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: banyak investasi asing memilih Vietnam, Thailand, bahkan Bangladesh---dan bukan Indonesia.

Relokasi industri dari China adalah konsekuensi logis dari perubahan strategi global perusahaan. Biaya tenaga kerja di China semakin tinggi, regulasi semakin ketat, dan ketidakpastian geopolitik mendorong perusahaan mencari "China+1 strategy"---yakni strategi diversifikasi lokasi produksi untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara. Indonesia, dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa, pasar domestik yang luas, dan lokasi geografis strategis, seharusnya masuk radar utama. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar pabrik-pabrik yang pindah dari China lebih memilih Vietnam. Mengapa?

Jawaban sederhananya: Vietnam lebih siap. Negara itu menawarkan kombinasi yang sulit ditolak: iklim investasi yang ramah, regulasi yang relatif stabil, tenaga kerja terlatih, serta infrastruktur industri yang mendukung. Pemerintah Vietnam bergerak cepat menyambut relokasi dengan membentuk kawasan industri khusus, insentif pajak, dan proses perizinan yang efisien. Bahkan dalam beberapa kasus, negosiasi dengan investor dilakukan langsung oleh pejabat tinggi pemerintah dalam waktu yang sangat cepat dan presisi. Hasilnya, Vietnam berhasil menarik investasi dari raksasa seperti Samsung, Apple, dan Foxconn---yang membawa serta teknologi, lapangan kerja, dan konektivitas rantai pasok global.

Sementara itu, Indonesia masih berkutat dengan masalah klasik: regulasi yang tidak konsisten, perizinan yang berbelit, infrastruktur yang belum merata, dan kualitas SDM yang belum optimal. Meskipun pemerintah telah meluncurkan Undang-Undang Cipta Kerja dengan semangat reformasi struktural, dalam praktiknya banyak hal masih tersendat di level implementasi. Investor asing masih menghadapi birokrasi yang kompleks dan kepastian hukum yang lemah. Belum lagi masalah ketenagakerjaan yang kerap menjadi isu sensitif dan menyulitkan fleksibilitas perusahaan dalam mengatur operasionalnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, Indonesia tampaknya belum memiliki strategi relokasi industri yang terintegrasi. Tidak ada peta jalan nasional yang secara eksplisit menargetkan jenis industri apa yang ingin ditarik, dari negara mana, dan ke wilayah mana di Indonesia. Tidak ada sistem promosi investasi yang agresif dan terarah. Akibatnya, kita hanya menunggu investasi datang, alih-alih menjemputnya secara aktif. Padahal, dalam dunia industri global saat ini, kompetisi menarik investasi ibarat kompetisi memperebutkan rantai pasok. Negara yang proaktif, cepat, dan tegas akan menang. Negara yang pasif akan tertinggal.

Kegagalan kita menangkap momentum relokasi ini bukan hanya soal kehilangan investasi. Ini soal kehilangan kesempatan restrukturisasi industri nasional. Relokasi seharusnya bisa menjadi jembatan untuk mempercepat transformasi industri kita dari berbasis komoditas ke manufaktur berteknologi menengah dan tinggi. Misalnya, dengan menarik investasi di sektor elektronik, semikonduktor, otomotif listrik, atau farmasi. Tapi tanpa kesiapan infrastruktur, SDM, dan kebijakan yang selaras, kita hanya akan mendapat proyek perakitan sederhana---jika pun ada.

Yang lebih penting lagi, relokasi industri juga membuka peluang alih teknologi dan peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal. Perusahaan global biasanya membawa standar teknologi, manajemen, dan produktivitas yang lebih tinggi. Jika kita mampu menyerap itu ke dalam ekosistem industri nasional, maka akan ada efek pengganda yang signifikan terhadap daya saing dan produktivitas jangka panjang. Tapi semua itu membutuhkan desain kebijakan yang cerdas, eksekusi yang disiplin, dan kepemimpinan yang visioner.

Masalah ini bukan sekadar kekurangan insentif fiskal atau keterbatasan kawasan industri. Ini adalah cerminan dari ketidaksiapan struktural untuk bermain dalam arena ekonomi global yang baru. Dunia tidak sedang menunggu Indonesia. Ketika peluang datang, hanya mereka yang siap yang bisa mengambil manfaat. Sisanya hanya akan menonton dari pinggir, sambil terus berdebat soal regulasi dan administrasi.

Kita masih memiliki peluang, tetapi jendelanya tidak akan terbuka selamanya. Gelombang relokasi industri kemungkinan akan terus berlangsung dalam 5--10 tahun ke depan, terutama karena tensi geopolitik belum reda dan perusahaan semakin sadar akan pentingnya diversifikasi rantai pasok. Untuk itu, Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah strategis: mempercepat reformasi iklim investasi, membangun kawasan industri tematik yang sesuai dengan kebutuhan investor, menyiapkan tenaga kerja yang sesuai, dan---yang tidak kalah penting---memiliki satu suara nasional dalam menarik investasi strategis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun